Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Socmed as an Emotional Display Room

11 September 2014   07:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:02 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media (kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Social Media (kompas.com)"][/caption]

“Kenapa aku nggak boleh ngungkapin kejengkelanku di media sosial?”

“Khan lebih baik aku nulis di medsos daripada aku pukul langsung orang yang bikin aku jengkel?” Hmmm.. iya benar juga sih. Kayaknya memang lebih ‘aman’ nulis di medsos. Paling tidak, nggak ada yang terluka parah, trus berdarah-darah dan masuk RS.

Saya bukan ingin membuat tulisan tentang etika bermedia sosial, tapi saya ingin menyoroti ketertarikan orang untuk berekspresi di medsos. Ya, kalau kita perhatikan fenomena ungkapan hati-tanpa batas-dan-resiko itu makin meluas dan makin menjadi-jadi. Hingga akhirnya ‘jatuh korban’, tidak berdarah sih.. cuman masuk berita di mana-mana dan berakhir dalam tahanan (syukurlah..akhirnya dia dibebaskan).

Hampir dapat dipastikan bahwa tiap orang pengguna medsos pernah mengungkapkan isi hatinya entah melalui status atau komentar terhadap status orang lain (ehmm.. saya juga pernah..). Bedanya ada yang curhatnya menggunakan bahasa halus, sindiran, tapi ada juga yang kasar dan berisikan kemarahan yang langsung ditujukan pada orang tertentu. Anak saya pernah menuliskan status di BB-nya, “Bete banget! Sebel”, persis setelah saya marahi. Wah, jelas saja saya tahu untuk siapa status itu dituliskan.

Media sosial saat ini sudah menjadi emotional display room. Seolah-olah medsos menjadi “sahabat baik yang setia setiap saat”, kapan pun dan di mana pun. Medsos menjadi etalase toko ekspresi emosi. Berbagai macam emosi “dijual” di sana. Mau yang halus? Ada. Mau yang sindiran agak intelek? Ada. Mau yang tanpa kata-kata, dengan gambar untuk memperolok orang lain? Ada juga. Atau mau baca yang kasar, maki-maki dengan tanda baca (!!!)? Wah malah banyak… Tinggal pilih.

Tidak melulu display untuk emosi negatif, ungkapan kegembiraan pun ada. “Berpacaran”, itu salah satu contoh status di FB. Contoh lain : “Mencintaimu adalah pilihan terbaik dalam hidupku” (ngngng…berarti sebelumnya sering banget bikin pilihan buruk dong?).

Apa yang salah? Tidak ada sih. Hanya saja kadangkala ungkapan-ungkapan itu berlebihan. Lebih parahnya lagi orang yang dituju tidak memiliki media sosial yang sama! Itu konyol sekali.. Lalu untuk siapa umpatan negatif itu ditujukan bila target sasarannya tidak bisa membacanya?

Mengapa orang mudah sekali mengungkapkan uneg-unegnya di media sosial? Menurut saya ada beberapa faktor, antara lain :

·Merasa bahwa medsos itu sungguh milik pribadi. Bagaimana tidak pribadi, lha wong mau masuk medsos itu harus pakai username dan password. Khan berarti itu wilayah pribadi. Hanya milik seseorang. Secara psikologis, orang memiliki persepsi bahwa ruang medsos adalah milik dirinya. Dia bisa masuk dan keluar kapan saja, karena hanya dia yang tahu “kunci rahasianya”. Maka wajar dong, kalau pemiliknya bebas menggunakan ruangannya? Perspektif ini tidak utuh. Bagaikan melihat gajah hanya dari satu sisi saja. Orang lupa, sekalipun medsos itu dibatasi dengan keamanan seperti itu, tapi ada banyak cara membuat isi medsos mencuat keluar dan bukan berarti seseorang “bebas untuk” dan tidak “bebas dari..”.

·Keterasingan. Manusia ditakdirkan menjadi mahluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian (bukan nyindir yang jomblo yaa..) dan senantiasa membutuhkan orang lain, entah sebagai teman, sahabat, pasangan bahkan sebagai musuh! Membuatnya bersemangat, sekaligus membuatnya terlibat dalam banyak masalah. Mau tidak mau harus diakui saat ini saling sapa, saling senyum dan berkunjung makin berkurang. Siapa yang mau disapa? Tetangga? Pagarnya terlalu tinggi. Orangtua? Pergi-pagi-pulang-pagi lagi. Saudara kandung? Sudah punya kamar sendiri. Teman kerja? Sibuk mengejar target. Akhirnya banyak orang merasa sendirian sekalipun berada di tengah orang banyak. Individu merasa tercabut dari akarnya. Salah satu solusinya : media sosial. Di sana banyak orang yang sama-sama kesepian dalam kehidupan nyata. Mereka “berkumpul” dalam dunia maya.

·Bentuk “protes” terhadap perlakuan sebagai sekedar nomer. Manusia diperlakukan sebagai nomer. Apapun. Nomer antrian, no identitas, nama dan kata sandi, nomer induk karyawan, no BPJS, nomer absen, dan sebagainya. Bahkan kalau kita mencari seseorang di suatu perusahaan, selalu ditanyakan “dari mana?”, tidak cukup hanya menjawab nama kita saja. Misalnya kita telpon, “Hallooo… bisa bicara dengan bu Anti?”. Penerima telpon, “Dari siapa?”. Kita jawab nama kita. Pasti setelah itu penerima masih ngotot bertanya dari perusahaan apa. Kenapa tidak cukup hanya menyebutkan nama kita saja? Kenapa harus diidentikkan dengan sesuatu? Diri menjadi tidak nyata. Digantikan oleh sejumlah atribut. Orang merasa tidak lagi dihargai eksistensi dirinya. Media sosial, dalam hal ini menyediakan ruangan hampir tak terbatas untuk unjuk eksistensi diri. Makanya tidak heran kalau banyak foto selfie di medsos! Pun status yang harusnya bersifat pribadi marak di sana.

Sesungguhnya mengungkapkan ekspresi di media sosial justru beresiko tinggi. Jauh lebih aman curhat dengan orang dari dunia nyata, bukan dunia maya. Janganlah meriah di dunia maya, tetapi sepi di dunia nyata!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun