Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Disonansi Kognitif, Makin Lebar Makin Menderita

28 Juni 2017   04:24 Diperbarui: 13 April 2022   13:11 14297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang bapak mengeluh. Anaknya merokok. Saya lihat di kantong baju si bapak ada kotak rokok juga. Lha berarti khan nggak masalah toh kalau anaknya ikutan merokok? "Masalahnya anak saya masih SD, Bu", ucapnya cepat. Kalau gitu, nanti anaknya boleh merokok setelah lewat SD? "Tetap nggak boleh, Bu. Saya nggak mau anak saya jadi perokok". Eh ini bikin kepala saya mumet deh. Trus knapa si bapak merokok? 

"Saya tahu merokok itu nggak bagus untuk kesehatan. Saya sudah pernah lihat video tentang paru-paru perokok. Karena itu saya nggak ingin anak saya punya kebiasaan merokok", penjelasan si bapak dengan mimik wajah serius. Lantas, knapa atuh si bapak bersikukuh merokok? "Nggak tahu ya, Bu.. Merokok itu bikin saya tenang, bisa mikir. Kalau nggak (merokok), rasanya ada yang kurang". 

Sering sekali kita temui kondisi semacam itu ya? Bagi pembaca perokok, kalau situasi di atas sesuai dengan keadaan Anda, percayalah.. Saya tidak bermaksud menyindir kok (tapi ya bersyukur kalau kena.. hehe.. ). Perbedaan antara pendapat, sikap, dan perilaku terjadi. Berpendapat bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan, tapi perilakunya bertolak belakang. Kata Leon Festinger, seorang psikolog abad 16, itu namanya disonansi kognitif. 

Disonansi kognitif adalah kesenjangan/gap antara pendapat, keyakinan, sikap dengan perilaku yang ditunjukkan. Pada contoh di atas, ada kesenjangan antara pengetahuan bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan dengan perilaku merokok yang terus menerus dilakukan. 

Contoh lain disonansi kognitif : 1) Tahu bahwa percaya ramalan dukun itu nggak bagus untuk kesehatan jiwa dan dilarang agama, tapi seringkali hunting dukun-dukun sakti di mana pun berada, 2) Yakin kalau ajaran agamanya benar yaitu cinta kasih, tapi bertindak penuh kekerasan untuk menancapkan ajaran agama tersebut pada orang lain, 3) Tidak setuju pada diskriminasi karena menjunjung tinggi kesetaraan umat manusia, tapi tidak bisa menerima pacar anaknya yang beda suku. Masih banyak contoh lain yang bisa diungkapkan. 

Kenapa Orang Bisa Mengalami Disonansi Kognitif?

Nah itu dia.. Kenapa ya? Bingung juga sih.. hahaha.. Kalau kata penemu teorinya, ada 4 hal yang bikin terjadi disonansi kognitif. Berhubung saya dah mulai agak ngantuk, saya bahas 2 aja ya. Dua lainnya nunggu Lebaran tahun depan *nggak niat blass* 

1. Inkonsistensi Logika Berpikir. Logika yang satu mengingkari logika lainnya. Misalnya: Yakin bahwa manusia butuh diatur dengan tegas dan disiplin, tapi di sisi lain tidak percaya bahwa aparat keamanan dan pemerintah mampu mengatur; percaya bahwa Tuhan itu Maha Adil, tapi tidak suka melihat keberhasilan orang lain; selalu berkata anak adalah titipan Tuhan dan di sisi lain bertindak seolah-olah anak itu "harta miliknya" yang bisa dikendalikan semaunya; dan sebagainya. 

2. Pendapat Umum. Harusnya orang tua itu membahagiakan anaknya. Harusnya anak itu berbakti pada orangtuanya. Harusnya orang Kristen/Katolik pergi ke Gereja hari Minggu. Harus sopan pada orang lebih tua. Pemimpin harus dihormati. Harusnya anak seorang guru berperilaku baik. Dan sebagainya. Anda bisa menambahkan daftarnya. Orang-orang yang terpaksa patuh pada pendapat umum semacam itu akan rentan mengalami disonansi kognitif. Seorang perempuan muda yang kerap dipukuli orangtuanya mengatakan dia tidak mau melawan atau menangkis pukulan ayahnya. Kenapa? "Ayah bilang kalau saya melawan artinya saya anak durhaka. Tidak patuh pada orangtua", ungkapnya sambil menangis. 

Kondisi kesenjangan tersebut mengakibatkan ketidaknyamanan psikologis. Oleh karena itu individu biasanya mencari keseimbangan agar gapnya tidak melebar. Makin lebar kesenjangan, makin menderitalah orang itu. Dia akan berada dalam situasi konflik psikis terus menerus. Tidak suka dengan pekerjaannya, tapi mau tidak mau bertahan di tempat itu selama bertahun-tahun. Kebayang khan lelah mentalnya seperti apa? Suami istri yang tidak mampu berkomunikasi bertahun-tahun, diwarnai pertengkaran dalam tiap saatnya, menyebabkan ketidakbahagiaan pada keduanya tapi mereka tetap harus bertahan dalam ikatan pernikahan seumur hidup. 

Cara Menghilangkan Disonansi Kognitif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun