Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Didik Anak dengan Satu Pertanyaan

2 September 2016   00:45 Diperbarui: 2 September 2016   07:58 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Donasdemo.com

Mendidik karakter anak adalah pekerjaan tanpa henti bagi orangtua. Nggak kenal musim. Meskipun orangtua terkena musim tagihan-jatuh-tempo, urusan didik mendidik karakter tetap harus jalan. Sekalipun musim ribut-sama-mertua sedang melanda, didikan karakter tetap menu wajib. 

Orangtua sebenarnya tahu kalau menumbuhkan karakter kuat pada anak itu penting, tapi pertanyaannya adalah darimana mulainya. Ya kan? Padahal jawabannya gampang. Mulainya ya dari awal. Kalau mulai dari tengah-tengah, itu kesasar namanya... Apalagi kalau mulai dari akhir... Telat! 

Saking banyaknya materi dalam membangun karakter anak, orangtua sampai bingung, akhirnya menyerah. 'Udah ah.. Kasih aja ke sekolah... '. Apalagi kalau ada urusan lain yang dianggap lebih penting daripada mendidik karakter anak, misalnya cicilan rumah, mobil, kulkas, panci, sprei. hehe... 

Mungkin orangtua beranggapan harus memberikan sesuatu. Pendidikan searah dari orangtua ke anak. Nggak begitu juga sih. Paling gampang adalah melalui pertanyaan. Tugas orangtua hanya memulai dengan pertanyaan. Eh tapi bukan pertanyaan introgasi lho ya. Sungguh-sungguh bertanya. Dengan pertanyaan itu, orangtua sebenarnya sedang membentuk perilaku tertentu. 

Berdasarkan ilmu yang saya pelajari dan pengalaman menerapkan, konsistensi diperlukan. Janganlah mengganti-ganti pertanyaan sebelum jawaban dari anak menjadi suatu kebiasaan. Selain konsistensi, diperlukan juga keberanian dari orangtua untuk bersikap terbuka. Makanya pilih dulu dengan cermat apa yang mau dibentuk dari anak. Bingung ya? Saya akan berikan contoh ya. 

Sejak kecil, kalau anak-anak pulang sekolah, tentunya setelah mereka makan dan ganti baju ya.. Sambil santai saya tanyakan, "Hal baik apa yang kamu lakukan di sekolah hari ini?" Awalnya memang tidak lancar karena mereka lupa apa yang mereka lakukan. Tapi karena setiap hari saya bertanya sekaligus juga saya bercerita tentang hal baik yang saya lakukan, akhirnya mereka ingat. 

Beberapa jawaban seperti: Mengantarkan teman ke kantin, meminjamkan pensil, menghapus papan tulis, mengambilkan barang jatuh, mengambilkan minum guru, dan sebagainya tetap diterima dan dihargai. 

Lalu saya sambung dengan pertanyaan lain, "Gimana rasanya setelah melakukan hal itu?". Ya, bahasanya nggak seformal itulah. Mereka biasanya jawab dengan perasaan positif. Kadang ada protes juga tentang orang yang dibantu. "Mereka nggak bilang terima kasih, Ma" Saat itu saat yang tepat untuk ngajari mereka tentang ikhlas. 

Pertanyaan itu saya pilih dengan tujuan :

1. Menumbuhkan sikap peduli lingkungan. Dengan fokus awal untuk menjawab pertanyaan ibunya, anak akan mencari kesempatan melakukan hal baik. Lama kelamaan saya berharap mereka sungguh peduli pada lingkungan sosialnya. 

2. Membentuk konsep diri positif pada diri mereka. Anak-anak perlu punya persepsi positif tentang kemampuan dan karakteristik mereka. Dengan demikian jati diri mereka akan kuat. Mereka menjadi yakin pada dirinya sendiri karena tahu bila mereka berharga bagi orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun