Mohon tunggu...
Nadia Nathania  Prilia
Nadia Nathania Prilia Mohon Tunggu... -

Seorang maha-siswa yang sedang mengejar mimpi di salah satu perguruan tinggi di Kota Pelajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng

6 April 2017   10:13 Diperbarui: 6 April 2017   10:22 49038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggundulan hutan di kawasan pembangunan pabrik semen di Rembang | sumber: suarageologi.blogspot.com

Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup di sekitar kita merupakan sebuah ekosistem yang harus saling kita hormati karena hubungan manusia dengan lingkungan saling bergantung satu dengan yang lain. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup. Lingkungan hidup menurut Undang-Undang No 32 tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2009). Adanya sifat saling bergantungan satu dengan yang lain membuat manusia membutuhkan lingkungan hidup lebih dalam. Sumber Daya Alam (SDA) merupakan bagian dari lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya hayati dan nonhayati dan membentuk kesatuan ekosistem. Menurut Jupri, sumber daya hayati adalah salah satu sumber daya yang dapat pulih (renewable resource) dan memiliki kehidupan serta kematian. Salah satu contoh sumber daya hayati adalah flora dan fauna. Sumber daya non hayati merupakan sumber daya yang tidak memiliki kehidupan serta kematian. Salah satu contohnya adalah air, mineral, belerang, minyak, dan sebagainya (Jupri, TT).

Sumber daya nonhayati terkadang menjadi permasalahan yang muncul di tengah masyarakat. Konflik lingkungan terjadi karena tidak adanya kesepakatan atau pemahaman bersama mengenai suatu isu lingkungan. Sumber daya ini akan habis jika terus menerus digunakan dan dikeruk habis oleh pihak yang berkuasa, baik perusahaan maupun pemerintah. Cara untuk mendapatkan sumber daya nonhayati juga akan mengorbankan sumber daya hayati. Sumber daya hayati merupakan sumber daya yang akan terus ada karena adanya regenerasi secara berkala. Namun, proses yang ada membutuhkan waktu yang lama. Seperti halnya dalam kasus pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.

Sejarah Konflik

Konflik pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, bermula dari rencana pembangunan pabrik semen dari PT Semen Indonesia (Persero) di Sukolilo, Pati Utara, Jawa Tengah. Warga Desa Sukolilo merasa dengan adanya pembangunan pabrik semen akan merusak lingkungan sekitar. Maka dari itu, masyarakat Desa Sukolilo menggelar aksi demonstrasi dan menggugat PT Semen Indonesia (Persero) tentang menolak pembangunan pabrik semen. Pada tahun 2009, warga Desa Sukolilo memenangkan gugatan di Mahkamah Agung (MA) dan PT Semen Indonesia (Persero) angkat kaki dari wilayah tersebut (Farida, 2014).

Pada tahun 2009, PT Semen Indonesia (Persero) mengubah rancangan wilayah pembangunan pabrik semen ke wilayah Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di Kecamatan Gunem, Pegunungan Kendeng, Rembang. Pada tanggal 14 Oktober 2010, Pemerintah daerah memberikan ijin pembangunan pabrik semen dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 mengenai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Surat keputusan ini diikuti dengan adanya Pemberian Izin Lokasi Eksplorasi untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya dengan nomor 591/40/2011 (Kandi, 2016).

Pada tahun 2014, terjadi bentrok antara PT Semen Indonesia (Persero) dengan warga Kendeng saat agenda peletakan batu pertama tambang semen. Warga Kendeng mengatakan bahwa mereka tidak diberikan informasi mengenai pembangunan pabrik semen di wilayah desa mereka. Sosialisasi hanya dilakukan oleh kepala daerah terkait tanpa memberitahu warga Kendeng. Dokumen AMDAL juga tidak disampaikan kepada warga Kendeng. Oleh karena itu, dampak-dampak negatif akibat pembangunan pabrik semen tidak diketahui oleh masyarakat. Pembangunan pabrik semen ini juga menyalahgunakan peraturan yang sudah ada diantaranya,

Penggunaan kawasan cekungan air tanah Watuputih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

Kemudian, penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diizinkan untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan yang secara administrasi Pemerintahan terletak pada Desa Kajar dan Desa Pasucen kecamatan Gunem Kabupaten Rembang provinsi Jawa Tengah. Namun fakta di lapangan, Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono kecamatan Bulu seluas kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik. Perlu diketahui dalam Perda nomor 14 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar (Widianto, 2014).

Warga Kendeng yang menolak pembangunan pabrik semen ini menggugat PT Semen Indonesia (Persero) atas penerbitan izin lingkungan kegiatan penambangan karst dan pembangunan pabrik semen ke Mahkamah Agung (MA). Kasus ini berawal dari gugatan petani Kendeng bersama Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Namun gugatan tersebut ditolak dengan alasan kedaluwarsa. Lalu mereka kembali mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Tetapi banding juga ditolak. Setelah kedua pernolakan tersebut, petani Kendeng dan Walhi mengajukan kasasi ke MA dan kembali ditolak. Akhirnya pada tanggal 2 Agustus 2016, petani Kendeng dan Walhi menemukan bukti baru yang dibawa untuk memberatkan Gubernur Jawa Tengah dan PT Semen Indonesia (Persero) dan MA mengabulkan permohonan yang mereka ajukan (Ihsanuddin, 2016). 

Setelah melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo meminta agar melakukan pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) oleh Kantor Staf Kepresidenan di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Menurut Undang-Undang No 32 tahun 2009, pasal 15 dan pasal 16 mengatakan KLHS meliputi kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2009). Pada bulan Oktober 2016, lewat keputusan Mahkamah Agung, memutuskan memenangkan petani Kendang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan membatalkan izin lingkungan tersebut. Artinya, surat keputusan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, terhadap PT Semen Indonesia harus dibatalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun