Mohon tunggu...
Nadia Lutfiana Mawarni
Nadia Lutfiana Mawarni Mohon Tunggu... Freelancer - Menulislah seperti dirimu sendiri

We don't know what we don't know

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Islam dalam Dua Kacamata dari Novel

19 Juli 2017   07:56 Diperbarui: 20 Juli 2017   13:24 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia sejak kecil tumbuh di lingkungan Islam yang berbeda. Mif dibesarkan dalam tradisi Islam modern, sementara Zia --panggilan akrab buat Fauzia- beranjak dewasa dalam didikan abahnya, seorang kyai tradisional. Meski sama-sama anak Centong, namun  perbedaan yang ada menumbuhkan sekat yang terlalu lebar untuk saling bertegur sapa. Rumah yang berjarak hanya sepelemparan batu seakan menjadi jauh, kalah dengan jurang kultural keagamaan keduanya. Sampai suatu ketika, di akhir masa perkuliahan Zia, ia tak sengaja bertemu dengan Mif di dalam bus Lamongan-Surabaya. Kemudian mereka bertukar alamat surel. Mif mencoba berbasa-basi untuk mengoreksikan tulisannya tentang gerakan Islam di desa mereka yang akan ia kirimkan ke sebuah media nasional.  Mif yakin, Zia, putri bungsu Pak Fauzan yang tumbuh dalam kekentalan tradisi Islam paham dan punya pandangan berbeda soal masalah ini.

Dari sana Mif sadar, ia tak mungkin terang-terangan mencintai Fauzia. Bapaknya berkali-kali mengingatkan bahwa menikahi anak orang di Centong berarti pula menikahi bapak-ibunya, juga seluruh keluarganya. Ah iya, apa yang akan orang-orang katakan jika nanti putra Pak Iskandar, seorang muslim pembaharu menikahi putri kesayangan Pak Fauzan. Jangan-jangan Mif hanya akan dipandang sebelah mata karena tak bisa memimpin mengaji kitab kuning dan tak baca qunut saat salat Subuh, atau prasangka lain soal membawa lari Zia dari masjid selatan ke masjid utara.

.....

Kisah berpuluh-puluh tahun sebelumnya merupakan kunci tembok besar penghalang cinta Mif dan Fauzia. konflik yang diwariskan dari orag tua masing-masing selama empat puluh tahun. Hampir setengah abad yang lalu, kala Is (Iskandar) dan Moek (Fauzan) masih kanak-kanak, mereka adalah dua sahabat penggembala kambing. Is yang memang rutin menggembalakan kambing tetangga selalu ditemani Moek yang membantunya. Kawan karib itu punya tempat favorit, Gumuk Genjik. Di sana, mereka berbicara soal apa saja, termasuk rencana setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) yang sama di desa. Keluarga Moek yang lebih mampu, akan mengirimkan anak laki-lakinya nyantri ke Jombang. Sementara Is akan tetap tinggal di desa, menjadi penggembala, menggarap lading, sambil berencana membeli beberapa kitab yang akan dipelajarinya secara autodidak.

Tinggal di pesantren, Moek punya kesempatan lebih luas untuk belajar. Kitab-kitab klasik khas Nahdiyin seperti Taqrib, Fathul Muin,dan Safinahdilahap Moek yang dipersiapkan menjadi intelektual muslim tradisional di desanya. Sementara Is, setelah mendapatkan untung dari menjual kambing merasa bangga dapat membeli Bulughul Maram.Kedatangan Cak Ali, seorang tokoh pembaharu di Centong ikut menjadi penawar dahaga bagi Is yang berhasrat akan ilmu agama, namun tidak dapat mencapainya lewat pendidikan formal. Dari sanalah gerakan Islam pembaharu itu mulai tumbuh.

 Saat Mif dan Fauzia kanak-kanak, masjid utara milik gerakan pembaharu, dan masjid selatan basis Islam tradisional sudah sama-sama mapan. Iskandar dan Fauzan hidup berislam dengan caranya masing-masing. Omong kosong sekali jika berbicara soal persatuan umat di Centong kala itu. Meski keduanya dikisahkan berbicara soal persatuan umat, juga merumuskan standar ketakwaan, namun, definisi "bersatu dalam ketakwaan" terlalu sulit. Bertakwa memiliki definisi yang berbeda buat Iskandar dan Fauzan. Takwa bagi Fauzan sama saja bid'ahbagi Iskandar. Orang-orang pembaharu memang dikenal suka seenaknya menghakimi orang lain. "Yang paling menyakitkan kalangan ulama dan pesantren. Serta meresahkan masyarakat luas, orang-orang pembaru itu sangat mudah menyebut orang lain sebagai kafir, musyrik, atau sesat. Tuduhan lain yang sering mereka gunakan adalah bid'ah. Sedikit-sedikit bid'ah". Alasannya, kaum pembaharu ini banyak menentang tradisi yang selama ini giat dilakukan di daerah Centong.

.....

Meski tak banyak disebut secara tersurat, poros konflik novel ini ada pada perbedaan berkepanjangan NU dan Muhammadiyah. Keluarga Pak Fauzan diceritakan khas orang Nahdiyin: membaca kitab beberapa ulama, memimpin tahlil, dan tentu saja kembali mengikuti tuntunan orang-orang terdahulu. Sementara Pak Iskandar berislam dengan lebih modernis: menolak tradisi, tidak lagi mengadakan berjanzi, serta sepenuhnya kembali pada Alquran dan Hadis.

Secara sosial, novel pemenang DKJ 2014 ini dekat sekali dengan gambaran kehidupan perkampungan di pesisir utara Jawa. Hingga saya bisa merasakan ada diri saya di dalam Kambing dan Hujan. Hidup di sepetak perkampungan dengan dua masjid beda ideologi memang tidak mudah, apalagi bagi masyarakat awam yang selalu bertanya "mana yang lebih benar", antara tarawih delapan rakaat atau dua puluh tiga, juga antara kabiradan allahumma baitbaini. Namun, walau hanya sebatas rasan-rasantetangga, tak dapat dipungkiri adanya penghakiman dalam masalah ini. Sesuatu yang tak dapat dihindari, mengingat sebagian besar masyarakat mendapatkan agama dari warisan orang tua mereka. Setidaknya bagi anak-anak yang hanya ikut-ikutan langgar mana yang sering disambangi orang tuanya untuk salat, akan selalu ada olok-olok soal ih kok lebarannya beda dan pertanyaan kenapa temenku kok ngaji kitab kuning, aku latihan qiraah?

Beberapa sumber mengatakan bahwa pada awalnya pendiri kedua organisasi tersebut K.H. Hasyom Asyari dan K.H. Ahmad Dahlan adalah santri di Bangkalan, Madura pada 1900-an. Kemudian keduanya sama-sama merantau ke Semarang untuk belajar pada Kyai Soleh Darat, juga melanjutkan perjalanan belajar ke Mekah. Di tengah jalan, Hasyim dan Dahlan ternyata meminati disiplin ilmu yang berbeda. Penggagas Nahdatul Ulama meminati kajian hadis, sementara itu Dedengkot Muhammadiyah lebih memilih pemikiran dan gerakan Islam. Agaknya, dari sanalah dua sahabat itu memilih jalur Islam yang berbeda. Senada dengan Is dan Moek, kendati mereka lulus dari sekolah rakyat yang sama, namun mewariskan Islam yang berbeda bagi anak-anaknya. Saya tidak tahu, apakah Mahfud Ikhwan sengaja merepresentasikan Dahlan dan Hasyim lewat dua tokoh ini, namun saya menganggapnya iya.

Meski pada akhirnya Mif dan Fauzia dapat menikah, dan cerita berakhir dengan baik-baik saja, orang tua mereka berdamai setelah empat puluh tahun, hal itu bagi saya adalah sebuah harapan agar tidak ada lagi konflik antara dua organisasi tersebut walau sebatas batin dan remeh-temeh. Lalu saya mulai berpikir bahwa sejauh ini memang belum pernah ada Nahdiyin yang menikah dengan kalangan pembaharu, di lingkungan kampung saya. Hahaha.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun