Mohon tunggu...
Nadia Fitria Ula
Nadia Fitria Ula Mohon Tunggu... -

just another university student.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Gangguan Stres Pasca Trauma (Posttraumatic Stress Disorder)

26 Desember 2013   22:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Merupakan hal yang sering terjadi apabila seseorang yang mengalami atau menyaksikan kejadian mengerikan seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang, atau kematian seseorang yang dicintai akan mengalami trauma. Beberapa orang ada yang sembuh dan kembali beraktivitas normal, namun ada yang mengalami trauma berkelanjutan hingga mengembangkan gangguan stres pasca trauma atau posttraumatic stress disorder (PTSD).

Gambaran Klinis PTSD

Gejala PTSD umumnya dapat di kelompokkan menjadi tiga jenis: kenangan yang mengganggu (intrusive memories), menghindari (avoidance) dan mati rasa emosional (emotional numbing), serta kecemasan atau peningkatan gairah atau emosi (hyperarousal). Seseorang dapat didiagnosa menderita PTSD apabila gejala-gejala dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.

Gejala yang termasuk dalam kelompok intrusive memories antara lain adalah individu mengalami kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa traumatis selama beberapa menit atau bahkan berhari-hari. Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut seperti petir yang mengingatkan seorang veteran pada medan pertempuran, atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu misalanya hari dimana seorang wanita mengalami penyerangan seksual.

Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait (avoidance) atau mati rasa (numbing) dalam responsivitas, yaitu individu berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya amnesia terhadap kejadian traumatik tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala-gejala ini tampak berlawanan dengan gejala pada kelompok pertama, namun pada kenyataannya terdapat fluktuasi, penderita bergantian mengalami kembali dan mati rasa.

Gejala kecemasan dan peningkatan ketegangan, gairah atau emosi (hyperarousal) meliputi sulit tidur, sulit berkonsentrasi, waspada yang berlebihan, dan respons terkejut yang berlebihan.

Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan anxietas lain, depresi, kemarahan, rasa bersalah, penyalahgunaan zat (mengobati diri sendiri untuk menghilangkan distres), masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, disfungsi seksual, dan penurunan produktivitas pekerjaan (Bremmer dkk., 1996; Jacobsen, Southwick, & Kosten, 2001; Zatzick dkk., 1997). Pikiran dan rencana untuk bunuh diri juga umum terjadi, seperti halnya insiden ledakan kekerasan dan masalah psikofisiologis yang berhubungan dengan stres, seperti sakit punggung bawah, sakit kepala, dan gangguan sistem pencernaan (Hobfoll dkk., 1991).

Gambaran klinis PTSD pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk tentang monster umum terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak yang semula periang menjadi pendiam dan menarik diri atau seorang anak yang semula pendiam menjadi kasar dan agresif. Beberapa anak yang mengalami trauma berpikir bahwa mereka tidak akan hidup hingga mencapai usia dewasa. Beberapa anak kehilangan keterampilan perkembangan yang sudah dikuasai, seperti berbicara atau menggunakan toilet. Anak-anak jauh lebih sulit untuk berbicara mengenai perasaan mereka dibandingkan orang dewasa.

Berikut merupakan Kriteria DSM-IV-TR untuk PTSD:


  • Pemaparan pada suatu kejadian traumatik menyebabkan ketakutan ekstrem
  • Kejadian tersebut dialami ulang
  • Orang yang bersangkutan menghindari stimuli yang diasosiasikan dengan trauma dan memiliki ketumpulan responsivitas
  • Simptom-simptom ketegangan berlebihan seperti respons terkejut yang berlebihan
  • Durasi simptom lebih dari satu bulan


Faktor-Faktor Penyebab PTSD

Penyebab utama PTSD adalah trauma, namun terdapat beberapa faktor lain yang berkontribusi dalam pengembangan PTSD, yaitu faktor lingkungan dan sosial, faktor psikologis, dan faktor biologis.

Faktor lingkungan dan sosial yang berpengaruh terhadap PTSD diantaranya adalah tingkat keparahan, durasi, dan kedekatan trauma. Individu yang mengalami langsung kejadian trauma yang sangat parah dan lama cenderung lebih mudah mengembangkan PTSD. Selain itu, dukungan sosial juga dapat berpengaruh. Individu yang mendapatkan dukungan emosional dari orang di sekitarnya untuk saling berbagi dan bercerita mengenai perasaan dan pengalaman traumatik mereka dapat sembuh lebih cepat dibanding dengan mereka yang tidak mendapatkan dukungan.

Individu yang mengalami kejadian traumatik yang sama memiliki resiko PTSD. Namun setidaknya terdapat tiga faktor psikologis yang dapat menjelaskan perbedaan respon individu terhadap trauma. Pertama, bagi beberapa orang, trauma dapat menghancurkan asumsi dasar tertentu mengenai kehidupan, dan hal ini dapat berkontribusi terhadap tekanan psikologis jangka panjang. Kedua, beberapa orang sudah merasa tertekan sebelum trauma terjadi dan sangat beresiko tinggi terjadi PTSD. Ketiga, cara penanganan (coping styles) tertentu dapat meningkatkan kesempatan individu mengembangkan PTSD.

Peneliti telah mencari faktor biologis yang menentukan apakah individu akan mengembangkan PTSD setelah mengalami trauma. Penelitian tersebut berfokus pada perbedaan fungsi otak dan sistem biokimia yang terlibat dalam respon stres antara penderita PTSD dengan yang bukan penderita. Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa faktor genetik berperan dalam kerentanan menderita PTSD.

Pandangan Teori Psikologi terhadap PTSD

Para teoris belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengkondisian klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa contohnya, dapat merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu (conditioned stimulus) karena diperkosa disana (unconditioned stimulus). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut, terjadi pengindraan, yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam conditioned stimulus. PTSD merupakan contoh utama dalam teori dua faktor mengenai avoidance learning yang diajukan bertahun-tahun lalu oleh Mowrer.

Prevensi atau Tindakan Pencegahan PTSD

Mencegah terjadinya PTSD dapat dilakukan dengan debriefing (pembekalan psikologis, kadangkala disebut traumatologi atau konseling duka cita), yaitu dengan sesi wawancara yang segera dilakukan setelah peristiwa traumatis terjadi. Wawancara ini dimaksudkan untuk membantu mengatasi respon emosional individu terhadap trauma dan mencegah perkembangan PTSD, termasuk mendorong individu untuk berbicara mengenai kejadian traumatis dan reaksi emosional merekasecara rinci dan sistematis. Wawancara ini diperkirakan dapat membantu pengintegrasian ingatan kejadian ke dalam sistem memori umum. Saat ini, pembekalan dilakukan secara teratur setelah terjadinya pengalaman traumatis, meskipun meningkatnya pertanyaan mengenai efektivitas pembekalan ini.
Penelitian melaporkan bahwa resiko pengembangan PTSD hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak menerima intervensi. Artinya, debriefing tampaknya menghambat jangka panjang pemulihan dari trauma psikologis. Terdapat beberapa spekulasi mengenai hal ini, diantaranya:


  • 'Trauma sekunder' dapat terjadi sebagai akibat dari paparan imaginal yang lebih jauh mengenai kejadian traumatis dalam jangka waktu yang singkat.
  • Debriefing dapat 'mengobati' distress normal, dan meningkatkan harapan berkembangnya gejala psikologis pada individu yang justru tidak melakukan pembekalan.
  • Debriefing dapat mencegah potensi respon perlindungan yang berupa respon penolakan dan respon menjauhkan yang mungkin terjadi segera setelah terjadinya kejadian traumatis.

Meskipun pendekatan psikodinamik telah dimanfaatkan untuk penderita PTSD (Marmar 1991), intervensi yang paling sering digunakan dalam pengobatan PTSD didasarkan pada prinsip-prinsip perilaku kognitif.

Contoh Kasus Penderita PTSD

Seorang penyanyi berusia 27 tahun dirujuk oleh seorang teman untuk menjalani evaluasi. Delapan bulan sebelumnya, kekasihnya telah menjadi korban penusukan hingga meninggal dalam suatu peristiwa penodongan, sedangkan dia dapat menyelamatkan diri tanpa terluka sedikit pun. Setelah lewat masa berkabung, tampaknya dia telah kembali normal. Dia membantu penyelidikan polisi dan secara umum dinilai sebagai saksi ideal. Namun demikian, tidak lama setelah penangkapan tersangka pembunuhan kekasihnya, penyanyi tersebut mulai berulang kali mengalami mimpi buruk dan ingatan yang jelas tentang malam terjadinya kejahatan tersebut. Dalam mimpi-mimpinya dia sering melihat darah dan melihat dirinya dikejar oleh orang yang mengancam dan tertutup wajahnya. Siang hari, terutama ketika berjalan sendirian, dia sering kali terhanyut dalam lamunan sehingga lupa ke mana akan pergi. Teman-temannya mengamati bahwa dia mulai mudah terkejut dan tampaknya selalu khawatir akan sesuatu. Dian meninggalkan uang kembalian atau barang belanjaannya di toko atau ketika menunggu tidak dapat mengingat apa yang akan dibelinya. Tidurnya mulai gelisah dan pekerjaannya terganggu karena tidak dapat berkonsentrasi. Pelan-pelan dia menarik diri dari teman-temannya dan mulai menghindari pekerjaannya. Dia merasa sangat bersalah atas pembunuhan kekasihnya, walaupun tidak tahu dengan pasti mengapa demikian (Spitzer dkk., 1981 hlm. 17).

Daftar Pustaka:

Bennett, P. (2006). Abnormal and Clinical Psychology: An Introductory Textbook. New York: Open University Press.

Butcher, J. N., Mineka, S., Hooley, J. M. (2008). Abnormal Psychology: Core Concepts. USA: Pearson Education.

Davison, G. C., Neale, J. M., Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal (9th ed.) (Noermalasari Fajar, Trans.). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun