Mohon tunggu...
Mutiono mutiono
Mutiono mutiono Mohon Tunggu... -

Bocah dengan motto "semua yang ditemui adalah guru dan semua tempat adalah sekolah".

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rasionalitas Agama dan Hegemoni

14 Desember 2013   22:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:55 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di tengan kegilan negeri ini, mungkin perlu bagi kita meninjau ulang berbagai hal yang menyelimuti negeri tercinta kita. Tak terkecuali itu adalah agama yang tanpa pernah kita berani memikirkan kembali apakah itu sudah tepat atau belum sebagai keyakinan kita atau hanya sebuah hegemoni dari keyakinan yang katanya-katanya. Bias beragama di negeri ini menjadikan agama hanya sebuah rutinitas menyisihkan waktu untuk Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan dengan berbagai tafsir yang diyakini masing-masing kelompok orang. Tak jarang, tafsir yang diyakini juga sadar tak sadar menentang tafsir bahkan agama yang diyakini orang lain. Hal seperti ini yang memicu banyak menimbulkan perpecahan diberbagai tempat.

Peninjauan ulang terhadap agama dianggap hal yang sia-sia oleh banyak orang karena dianggap agama yang dia yakini dan tafsir adalah pasti benar adanya, dibarengi dengan ayat-ayat Tuhan dan sabda-sabda Rasul-Nya. Disamping itu juga ketakutan dilabel kafir, murtad, atau penghianat oleh kelompoknya dianggap sebagai pembatas tersendiri dalam menentukan keyakinannya. Ketakutan adanya surga dan neraka sebagai hukuman dari Tuhan juga menjadi bekal yang kuat untuk mengikat dan menghegemoni seseorang dalam sebuah kelompok keyakinan.

Saya cukup muak melihat berbagai fenomena di negeri ini yang mengatasnamakan agama sebagai biang kerusuhan, melawan orang/komunitas lain dengan kepercayaan yang berbeda melalui dasar keyakinannya sendiri. Ada front yang mengobrak-abrik tempat makan disaat puasa, ada kelompok masyarakat yang melarang kelompok lain yang beda keyakinan untuk beribadah, ada kelompok yang melakukan pengeboman dimana-mana sebagai media jihad. Apakah ini hidup berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika? Toleransi? Menjunjung tinggi kerukunan dan gotong-royong? Dead Wrong! Modal besar bangsa ini untuk maju sebagai negara dengan keberagaman tinggi dan itu sudah di perjuangkan oleh pendiri bangsa kita yang telah mengantisipasi hancurnya bangsa ini akibat keberagaman tinggi melalui Pancasila ternyata mulai terkikis menjadi lubang setan kehancuran akibat agama. Padahal semua agama pastinya mengedepankan dan mengajarkan toleransi bukan perpecahan. Saya yakin, kalo semua agama import yang menjadi pilihan untuk kita yakini mengedepankan perpecahan dan keributan, pasti tidak akan ada orang yang memilihnya.

Jika suatu agama bersifat merusak dan menimbulkan perpecahan, sudah saya pastikan itu bukan keyakinan yang benar. Untuk apa berkeyakinan kalau untuk merusak, memecah, atau merugikan orang lain. Untuk itu sepertinya peninjauan kembali masing-masing dalam berkeyakinan ini sangat perlu untuk kembali kita menjadikan agama sebagai rahmat untuk setiap manusia dan menjadikan manfaat untuk sesama manusia. Tak perlu dengan perang, ribut, nge-bom, atau memaksa, kalau kita berperilaku baik dan bermanfaat bagi orang lain entah apa itu agamanya orang pasti akan dengan sendirinya memilih agama yang menurutnya sesuai. Sebagian orang tentu bertameng, bahwa agama itu urusannya dengan Tuhan, jangan main-main asal pilih, agama ini yang paling benar dan rahmat bagi semua makhluk (bagaimana mau jadi rahmat kalau kerjaannya ribut?) justru membuat orang jijik dan muak mendengarnya. Mencuplik kalimat KH. Mustofa Bisri “yang merusak agamamu bukanlah orang lain yang menghina agamamu tapi perilakumu sendiri”.

Saya juga bingung kenapa hal seperti ini masih terus saja terjadi, padahal banyak hal yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu dengan keyakinannya sudah banyak ditentang oleh banyak orang dan secara logika juga tidak masuk akal serta mengganggu orang lain.Saya mengindikasikan disini bahwa agama sudah dipelencengkan sebagai alat hegemoni melalui berbagai doktrin-doktrin yang disampaikan. Kurang lebih Teori Hegemoni merupakan anggapan pentingnya pengendalian pikiran atau ide sebagai alat pengendalian sosial politik untuk menguasai satu atau beberapa kelompok agar yang dikuasai mematuhi penguasa sehingga kelompok tadi tergiring dalam menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekonomi dengan cara pikir dan solusi yang telah ditentukan (Gramsci 1976). Kuatnya hegemoni ini biasanya jika sudah dihubungkan dengan dosa, pahala, murka dan kasih sayang Tuhan serta surga dan neraka. Inilah yang menurut saya sebagai media mudahnya masuk hegemoni seseorang. Pemahaman seperti itu sudah ditanamkan dan mengakar sejak kita kecil sehingga sulit untuk kita mengingkarinya. Orang yang terhegemoni disebut Kartodihardjo seperti orang yang terkena candu, sudah tahu daya rusaknya tapi tidak dapat meninggalkannya.

Mungkin kita perlu meninjau kembali bahwa agama sudah harus mencapai tingkat pemahaman moral ketiga (TPM 3) sesuai yang diuraikan Sarwono dalam Sindo edisi 24 November 2013, agama sudah harus mencapai tingkatan tidak membeda-bedakan, toleransi, menghargai orang lain, menghormati, dan mengedepankan kepentingan manusia. KH. Abdurrahman Wahid menyampaikan pesan bijak kepada kita bahwa jika kita mencintai manusia maka kita mencintai penciptanya, jika kita meninstakan dan menghina manusia maka kita menistakan dan menghina penciptanya. Bukankah kita sama-sama diciptakan oleh Tuhan yang sama? Adanya pemahaman Tuhan A untuk agama ini, Tuhan B untuk agama itu, sebenarnya itu semu. Semua tetap berpangkal pada Tuhan yang satu, apapun keyakinan, ajaran, dan agamanya. Tentu Tuhan adalah hakim yang seadil-adilnya atas semua yang kita lakukan di dunia ini. Tak harus dengan paksaan karena keyakinan akan muncul dengan sendirinya atas iqro’ yang dia lakukan didunia ini. Tak usah ngotot memperjuangkan ayat atau sabda yang kita sendiri belum tau pasti apa maksudnya (mengartikan perkataan teman saja kadang masih salah apalagi firman Tuhan dan sabda Rasul). Jalani saja semua sesuai dengan keyakinan sendiri bukan keyakinan yang katanya-katanya, maka gunakanlah pikiranmu untuk terus membaca baik qauliah dan qauniyah.

Mari kembali memaknai perilaku agama yang kita jalani, apakah salam yang kita sampaikan ke orang lain benar-benar memberikan kesejahteraan dan kedamaian kepada orang lain? Apakah Allahu Akbar yang kita ucapkan sudah benar-benar kita maknai bahwa kita tak ada apa-apanya dibanding dengan Tuhan sehingga kita masih berani sombong dengan orang lain? Apakah kita puasa benar-benar sudah menjaga nafsu kita sehingga tidak membabi buta menghancurkan dan merusak rumah makan? Apakah solat yang kita dirikan sudah menghindarkan kita dari perbuatan mungkar dan nafsu amarah? Apakah kita merasa cinta saudara kita dengan demo menggalang dana untuk muslim negara tetangga tapi muslim tetangga kita dan dinegara kita masih kelaparan dan mengemis dipinggi jalan? Apakah yang kita lakukan memang sesuai dengan pemikiran dan keyakinan kita ataukah hanya hegemoni orang lain sehingga menjadikan keyakinan kita sebagai keyakinan katanya-katanya dan kita menurut saja seperti kambing congek? Tentu yang terpenting apakah keyakinan kita sudah membawa rahmat dan manfaat untuk orang lain sesama manusia dan tak membeda-bedakan. Sesungguhnya kalau kita membedakan orang sesuai agama maka niscaya agama tak akan berkembang karena pendiri agama pada awalnya adalah sendirian dan orang yang didakwahi, diajak, didekati adalah mereka yang tidak seagama melalui kasih sayang dan perilaku yang membawa manfaat.(mto)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun