Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ade Armando dan Mereka yang Memantaskan Diri untuk "Dihina"

2 November 2019   12:34 Diperbarui: 2 November 2019   12:38 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Megapolitan Kompas

Tulisan ini mungkin tampak lebih memamerkan sisi emosionalitasnya meski tetap berusaha berpijak pada rasionalitas dan logika yang sederhana. Lebih tampak sisi emosionalitasnya karena untuk menanggapi sosok sekaligus pikiran yang juga emosional dan sering kali provokatif.

Mereka kerap berbicara soal kemanusiaan, soal hak asasi manusia, soal toleransi, soal demokrasi, soal agama yang kadang sama sekali tak memerhatikan tafsir apapun kecuali kekuatan akal dan logika, soal kehidupan berbangsa dan bernegara, dan soal lain yang terdengar sangat anggun dan manis.

Tapi pada sisi yang lain, mereka tampil melebihi pelacur yang melacurkan diri dengan selacur-lacurnya perilaku lacur. Mereka menjadi representasi terbaik bagaimana melacurkan pikiran itu lebih berbahaya dibandingkan menjual selangkangan.

Ade Armando adalah salah satu contohnya. Sosok kontroversial yang absurd dan kerap kali lolos dari kasus-kasus kriminal yang dihadapi. Memunculkan dugaan, bahwa ia adalah "piaraan" yang dilindungi meski tanpa undang-undang spesifik seperti undang-undang perlindungan hewan. Lah, meski pernah menjadi tersangka, doi selalu lolos, kok. Mendapatkan SP3 malah!

Ia membela negara, atas nama kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun seringkali justru "negara" yang dibelanya "menderita" karena kontroversi pandangannya yang kerap menyakitkan. Ia tak tampil sebagai sosok akademisi, tapi turun derajat karena pikirannya lebih menyerupai buzzer: tidak berbentuk analisa dalam sebuah tulisan, tapi lebih cenderung nyinyir tak bertuan.

Unggahan di akun Facebook-nya terkait Anies Baswedan, termasuk yang sinis dan cukup sadis. Menyamakan Anies dengan Joker, yang jahat karena kerap disakiti (dipecat dalam konteks Anies) karena dianggap selalu bermasalah terutama terkait e-budgeting yang ramai dan gaduh luar biasa akhir-akhir ini.

Sah-sah saja sebenarnya ia tidak sependapat dan kerap bertentangan dengan Anies dalam konteks kepemimpinannya di Jakarta, tapi jika ia sadar posisi, mestinya itu disampaikan dengan cara yang lebih manis. Sebagaimana ia memberikan pendapat soal Jokowi, yang selalu dianggap suci, se-tak masuk akal seperti apapun kebijakannya.

Kalau ternyata ia lebih memilih turun menjadi sekelas buzzer (mungkin saja memang itu pekerjaan sampingannya), susah meletakkannya pada posisi akademisi yang beradab. Ia yang sering berbicara demokrasi, tapi justru merusaknya dengan kalimat-kalimat kotor yang berlebihan.

Ia yang kerap kali berbicara persatuan dan kesatuan, tapi justru menghancurkannya dengan narasi-narasi provokatif yang menyerang dan menyakitkan. Padahal, ia paham betul, bahwa perbedaan tak mesti dengan cacian. Ia yang suka sekali berbicara adab dan moralitas dalam berbangsa dan bernegara, justru menjadi bagian dari yang merubuhkannya melalui komentar yang tak beradab dan laku yang amoral.

Senang mengomentari laku sosok tertentu dalam dunia politik, tapi enggan masuk dunia politik. Berlindung di balik gelar sebagai akademisi sehingga lebih bebas untuk mencaci dan menghina orang. Giliran disuruh ikut melakukan perubahan dalam dunia politik, tak mau. Maunya nyinyir saja. Logis juga sebenarnya, karena orang sepertinya pasti tak akan laku. Minimal sulit untuk dipasarkan secara normal.

Susah sekali mencari benang merah antara perkataan yang suci dengan laku yang kotor dan sampah seperti itu. Tak jadi urusan ia suka atau tidak dengan Anies, tapi mungkin akan lebih baik disampaikan dengan cara yang lebih beradab. Toh, Ade Armando juga gak suci-suci amet, kok. Mau buktinya? Ketik saja di Google. Sama seperti saya, sama-sama kotor dan sampah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun