Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... lainnya -

Mustam Arif, rakyat biasa dan penikmat media, tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beragamalah dengan Tidak Membunuh

14 Februari 2011   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:37 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12976710631023648635

Di account Facebook, beberapa waktu lalu, saya mengomentari kasus menyerangan komunitas Ahmadiyah di Makassar, dengan sebuah pertanyaan ‘’Apakah tidak ada cara lain, selain kekerasan, dalam menyelesaikan masalah. Agama kok diatasnamakan untuk menjustifikasi kekerasan?’’

Di antara sekian tanggapan, ada facebooker yang memberikan komentar, yang menurut saya, sangat sadis. Tanggapan tersebut, kurang lebih…’’Saya bukan FPI dan kadang saya tidak setuju dengan cara mereka, tetapi dalam Islam harus memerangi orang yang murtad. Bahkan dihalalkan meminum darah dari mereka yang murtad.’’ Ini interpretasi yang sadis, yang bertentangan dengan nilai hakiki agama.

Seminggu setelah pengepungan komunitas Ahamdiyah di Jl. Auang Makassar (29/1/2011), anarkisme massa kembali menimpa warga Ahmadiyah di Pandeglang, Banten (6/2/2011). Penyerangan secara brutal ke rumah seorang warga Ahmadiyah itu menewaskan tiga warga Ahamdiyah. Rekaman video yang beredar di situs You Tube, warga Ahmadiyah dibantai sadis yang tidak manusiawi.

Dua hari kemudian, rusuh SARA kembali terjadi di Temanggung, Jawa tengah (8/2/2011). Amuk massa membakar tiga gereja, lantaran tidak puas atas vonis pengeadilan terhadap Antonius Richmond Bawengan dalam kasus penistaan agama.

Presiden SBY, seperti pada kasus Pandgelang, kembali menyatakan prihatian dan meminta aparat keamanan mengusut tuntas ini. Masyarakat sipil jadi makin marah terhadap pemerintah yang terkesan tidak memberikan perlindungan kepada warga negara. Sepertinya membiarkan kekerasan digunakan kelompok tertentu untuk memksakan kehendak. Bertubi-tubi dikritik, sehari kemudian SBY mencoba tegas dengan mengancam akan membubarkan ormas yang menimbulkan kerusuhan. Tetapi sikap lamban, tidak tegas, kurang konsisten, membuat masyarakat sipil kembali bertanya-tanya, mampukah presiden dan jajarannya akan membubarkan ormas perusuh, atau penyelesaian kasus ini secara tuntas?

Di media massa, para komentator, pejabat negra, tokoh-tokoh agama, politisi juga beradu komentar. Banyak mengutuk, tetapi juga sebagian justru dengan kemampuan retorika terkesan mendukung tindakan kekerasan secara terbuka maupun secara tersirat.

Dalam berbagai perdebatan, ada dua opsi utama untuk solusi terhadap konflik Ahmdiyah, yakni pembubaran terhadap Ahmadiyah atau Ahmadiyah keluar dari Islam dan menjadi agama selain Islam.Bagi saya, dua opsi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Agak naif kemudian bila keyakinan manusia dipaksa untuk dibubarkan atau dihentikan. Kemudian, jika Ahmadiyah menjadi agama sendiri atau terlepas dari sekte Islam, apakah ada jaminan mereka akan hidup aman dan damai di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang di dalamnya ada kelompok atau ormas yang peka, rada brutal dan anti pluralisme, yang kerap mengabaikan hukum dan main hakim sendiri? Apakah ada jaminan keamanan bila nantinya kepada ‘’agama Ahmadiyah’’ di tengah-tengah pemerintah yang terkesan mengabaikan kekerasan demi kekerasan kepada ormas atau kelompok tertentu terhadap kalangan minoritas yang lemah?

Bagi saya, jalan terbaik adalah membangun dialog manusiawi untuk menumbuhkan perbedaan sebagai rahmat, tidak saling mengganggu satu sama lain. Ahmadiyah harus mampu menjaga keharmonisan dengan tidak memaksakan ajaran mereka kepada umat lain. Kelompok Islam maupun kelompok agama lain, juga jangan memaksakan keyakinan agar Ahmadiyah dibubarkan atau dibumihanguskan.

Jangan memvonis Ahmadiyah atau keyakinan lain sebagai aliran sesat karena pada hakikatnya sesat atau tidaknya keyakinan bukan ditentukan oleh interpretasi manusia, tetapi menjadi hak prerogatif Tuhan. Janganlah mengklaim orang masuk neraka atau surga karena persoalan keyakinan, karena tidak tertutup kemungkinan atau siapa tahu, orang yang kita ‘’masukkan’’ ke neraka, eh malah nongkrong di surga kelak. Atau sebaliknya, kita yang merasa diri masuk surga, tahu-tahunya kelak dijemput Malaikat Malik untuk menghuni neraka. Janganlah menganggap orang kafir lantaran tidak seiman dengan kita, karena siapa tahu, justru kita yang kafir atau sedang menuju kekafiran lantaran perbuatan yang tidak manusiawi. Karena soal neraka dan kekafiran ditentukan Tuhan berdasarkan hasil perbuatan manusia, bukan vonis sesama manusia.

Setiap agama atau keyakinan yang baik, mengajarkan kebaikan bagi manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat atau setelah mati. Kebahagiaan atau kesuksesan dunia dan akhirat ditentukan oleh perbuatan manusia di dunia, dan hasil perbuatan manusia di dunia berkontribusi pada capaian di akhirat sekaligus di dunia. Karena itu, amalia akhirat tidak semata-mata memberi dampak pada kehidupan di akhirat nanti, tetapi juga kehidupan di dunia saat ini dn akan datang.

Selama ini sebagian tokoh agama kerap menceramahi umatnya dengan memisahkan amaliah dunia dan akhirat. Cenderung menakut-nakuti umat dengan sikasaan api neraka. Akibatnya, sebagian umat lebih cenderung menyiapkan bekal akhirat karena takut masuk neraka, dan cenderung menyampingkan kebaikan duniawi. Padahal,Tuhan yang mahamengetahui dan mahamenentukan bisa saja mentransfer sebagian kenikmatan atau siksaan yang menjadi bekal akhirat ke kehidupan dunia dalam bentuk kenikmatan atau malapetaka.

Kemudian solusi lain untuk mengatasi konflik antarkeyakinan adalah menjaga perbedaan keyakinan tidak menjadi alat politik kelompok tertentu. Sebab, ketika agama dan keyakinan diintervensi negara untuk kepentingan tertentu, terutama kepentingan politik, tidak akan memberi kedamaian pada masyarakat, malah akan menjadi sumber sengketa dan malapetaka.

Bagi saya, memahami agama dengan mematikan nilai-nilai kemanusiaan, justru akan menjadi ancaman bagi umat manusia. Komentar tentang menghalalkan meminum darah orang yang murtad, menurut saya, memberikan dampak buruk yang dahsyat. Pernyataan ini sangat provokatif dan secara semantis, ini sangat sadis. Sangat tidak manusiawi. Bayangkan, atas nama agama, menghalalkan meminum darah sesama manusia. Perilaku yang direfleksikan lewat kalimat ini sesungguhnya bukan dari nurani manusia, tetapi titisan dari instink binatang yang dianut masyarakat primitif. Instink manusia di peradaban jahiliah, yang saling memangsa sesama manusia.

Ini berbahaya, karena fanatisme terhadap agama diselewengkan secara interpretatif menjadi keberpihakan buta dan dangkal yang menyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, semua agama mengajarkan kebaikan untuk memanusiakan manusia. Apalagi Islam yang diturunkan Allah sebagai rahmat yang mengayomi alam semesta dan umat manusia (rahmatan lil a’lamin). Dalam perang pun, Islam punya etika? Mengapa dalam perbedaan keyakinan ditanggapi dengan amarah yang kerap meniadakan nurani manusia?

Bagi saya, ukuran beragama seseorang ditentukan kemampuan komprehensif menegakkan nilai dan harkat kemanusiaan serta taat pada ajaran keilahian Tuhan. Ajaran Tuhan bisa ditegakkan ketika manusia mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan (hablumminannas). Kemanusiaan bisa terjaga dan dunia bisa aman dan damai jika manusia mampu menjaga harmonisasi dalam penyatuan nilai kemanusiaan dan ajaran Ilahiah (hablumminallah). Maka beragamalah dengan tidak membunuh kemanusiaan. Ketika agama membunuh kemanusiaan, maka ia bukanlah agama. Sebaliknya, ketika manusia ‘’membubuh’’ Tuhan, maka ia bukan manusia. (mustam arif)

tulisan ini juga saya posting di blog saya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun