Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... lainnya -

Mustam Arif, rakyat biasa dan penikmat media, tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Air Cucian Kotor dan Eksistensi Penjual Minuman

3 Juni 2013   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:35 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PULANG dari kegiatan workshop sekolah demokrasi di sebuah hotel di Jl. Hertasning, Makassar, cuaca begitu gerah. Saya sempatkan waktu menyinggahi penjual es di trotoar samping Lapangan Hertasning. Di tempat yang besebelahan dengan kantor PLN Wilayah Sulselrabar ini, berjejeran penjual aneka jajanan menggunakan mobil, yang dimodifikasi seperti kios. Para penjual hadir di waktu pagi dan kembai petang hari.

Di bawah pepohoan hijau itu, saya mampir di sebuah mobil jualan minuman es kelapa muda dan es buah. Duduk di kursi plastik, sambil menunggu minuman pesanan es buah, saya nonton orang-orang bermain bola di Lapangan Hertasning. Lapangan Hertasning  adalah sebuah areal terbuka yang di dalamnya ada lapangan sepak bola. Pada malam hari, di sisi lapangan sebelah timur menjadi area penjualan kuliner Sari Laut. Lapangan ini juga menjadi tempat acara-acara berskala besar, misanya upacara tujuh belasan atau pameran pembangunan. Lapangan ini juga tak pernah kosong ketika ada momen pilkada atau pemilihan umum, karena menjadi tempat favorit berkampanye.

Di sebelah utara lapangan dekat saya duduk, di balik pagar jalan raya, ada kawasan yang diberi nama ''Taman Refleksi''. Sebuah area yang di atasnya memang ditata untuk pejalan kaki tanpa alas kaki. Di area tenentu sengaja dihamburi kerikil dan bebatuan, agar pejalanan kaki telanjang merasakan ''pijatan refleksi'' dari kerikil-kerikil itu.

Belum siap pesanan minumman saya diracik, di hadapan saya, seorang pelayan mencuci beberapa gelas, yang baru saja digunakan oleh pembeli menuman dingin itu. Saya terkejut. Tempat mencuci gelas itu hanya berupa satu ember air. Pencuci gelas itu, hanya merendam gelas-gelar bekas pakai itu, mengucak-ucak sebentar dan mengangkatnya kemudin menaruh di tempat gelas bersih.

Saya agak terperangah karena warna air dalam satu-satunya ember itu keruh kehitam-hitaman. Di bagian atas air kubangan di ember tampak mengapung lemak-lemak. Sekejap selera dan hasrat memuasi dahaga saya, runtuh!

Saya membayangkan air cucian di ember itu mungkin sejak pagi. Saya membayangkan sudah sekian banyak gelas kotor dicelup di situ. Saya bayangkan jika ada gelas atau sendok yang terkontaminasi bibit penyakit menular dari mulut atau tangan orang, sudah pasti tersemai di situ. Saya memastikan gelas-gelas yang dicuci di situ sudah tidak steril dari bibit-bibit penyakit. Lalu saya simpulkan, es kelapa muda pesnan saya juga menggunakan gelas yang dicuci di dalam ember dengan air keruh bak comberan itu.

Meski demikian, saya tidak sampai tega membatalkan pesanan. Apalagi minuman yang saya pesan, telah sampai pada campuran terakhhir berupa susu kental manis. Dalam suasana gerah dan dahaga, tampilan minuman yang sudah usai diracik itu sunggu nikmat. Tetapi ketika kembali melihat air dalam ember cucian piring itu, tidak sedikit pun keberanian meneguk es buah yang nikmat itu.

Kepada penjualnya, saya meminta dikemas dalam plastik minuman. Saya beri alasan ada orang menelepon saya, sehingga tidak sempat lagi menikmati es buah di tempat itu.

Setelah membayar Rp 10,000, saya pun beranjak pergi.

Dalam perjalanan, timbul niat, es buah dalam kemasan kantong itu, akan saya berikan kepada tukang becak (penggayuh becak) yang sering mangkal di dekat kantor. Saya bayangkan, yang menerima minuman ini, bakal sangat gembira, apalagi ketika keadaan dahaga setelah mengantar penumpangnya, saat udara Kota Makassar demikian panas dan gerah.

Tetapi sesaat kemudian, saya berubah pikiran. Saya kembali membayangkan jika kemudian es buah itu benar-benar tidak steril, mengandung bibit penyakit. Itu berarti, saya telah memberikan penyakit tersebut kepada tukang becak. Betapa tidak manusiawinya saya, jika es buah itu benar-benar tidak steril. Padahal, biasanya saya tidak akan membiarkan makanan di ramah kami dari pemberian orang tapi ragu memakannya, diberikan kepada tetangga atau keluarga. Bagi saya, apa yang tidak layak untuk diri saya, berarti tidak layak juga untuk orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun