Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

PTS Menggugat: Wujudkan "Affirmation", Akhiri Ketidakadilan di Pendidikan Tinggi

22 Agustus 2016   18:38 Diperbarui: 23 Agustus 2016   06:34 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Ristek dan Dikti M Nasir (Foto: Icha Rastika/Kompas.com)

Pendidikan di Indonesia terbagi dua yaitu pertama, pendidikan yang dikelola oleh pemerintah.  Pendidikan yang dikelola pemerintah, kalau di dunia pendidikan tinggi disebut Perguran Tinggi Negeri (PTN) dan kedua,  pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat.  Pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat, kalau di dunia pendidikan tinggi disebut Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Pendidikan menurut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan Tinggi tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.

Sistem pendidikan yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk“mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam rangka pengamalan dari pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi dalam pelaksanaan, telah terjadi ketidak-adilan antara pendidikan yang di kelola oleh pemerintah dan pendidikan yang didirikan danm dikelola oleh masyarakat. 

Di dunia perguruan tinggi terjadi ketidak-adilan bahkan diskriminasi antara PTN dan PTS.  Dikalangan PTS, juga terjadi ketidak-adilan antara PTS yang didirikan para konglomerat, dan PTS yang didirikan para tokoh masyarakat dan tokoh pendidikan.

Persaingan Bebas,  Memihak yang Besar

Pendidikan tinggi di era Orde Baru, tak obahnya seperti di dunia swasta.  Siapa yang dekat dengan pusat kekuasaan, dialah yang akan memperoleh berbagai bantuan dan fasilitas.  Sementara PTS yang dianggap beroposisi dengan pemerintah disishkan.  

PTN yang dikelola oleh pemerintah, diberi anggaran yang besar untuk menjalankan Tri Darma Perguruan Tinggi.  Mayoritas dosennya diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Aparatur Sipil Negara (ASN).  Sarana dan prasarana disediakan oleh pemerintah.

Sementara PTS yang didirikan oleh mereka yang berada dilingkaran kekuasaan, serta para konglomerat, mendapat privilege dari pemerintah. Sebaliknya, PTS yang didirikan oleh para tokoh yang dianggap berseberangan politik dengan penguasa Orde Baru ditekan habis-habisan.  Contoh kasus ialah Universitas Bung Karno (UBK) dan Universitas Ibnu Chaldun (UIC) mendapat tekanan dahsyat dan bahkan mau dibubarkan.

Di era Orde Reformasi, dunia pendidikan mengalami nasib seperti dunia politik dan dunia swasta,  disuruh bersaing bebas.  PTN seperti UI, ITB, UGM dan lain-lain bisa bersaing dengan PTS yang didirikan para konglomerat yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun