Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Undangan Narik Gintingan, Mengundang Datang atau Menagih Utang?

13 Januari 2020   14:52 Diperbarui: 13 Januari 2020   17:21 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu ibu saya menerima undangan pernikahan. Sekilas tidak ada bedanya dengan undangan pada umumnya, hanya saja saya kurang paham, kenapa ada list jumlah uang dan barang yang harus diberikan kepada mempelai? Tepatnya uang sebesar lima puluh ribu dan beras satu kilo terpampang jelas di sebuah kertas terpisah di dalam undangan.

Sebenarnya undangan semacam itu tak hanya saya jumpai pada undangan pernikahan. Undangan khitanan termasuk di dalamnya. Waktu itu saya sama terkejutnya ketika adik saya menerima undangan lucu nan imut yang menyuruh adik saya datang ke tasyakuran khitanan temannya dengan memberikan uang sebesar dua puluh ribu rupiah.

Usut punya usut, tradisi undangan itu cukup eksis di beberapa daerah tak hanya di Jawa Tengah. Saya tidak tahu istilah untuk menyebut tradisi itu sampai saya menemukan sebuah skripsi dari Kurnata Wijaya. Dalam skripsi tersebut, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu menyebutnya narik gintingan.

Narik gintingan memiliki arti menarik atau menagih secara bergantian. Lebih jelasnya, narik gintingan adalah kondangan dengan sistem membayar hutang. Ketika seorang mempelai mempunyai hajatan, ia akan menyebarkan undangan. Tamu datang lalu ia akan memberikan sejumlah uang atau barang kepada si pemilik hajatan.

Nah, tamu yang dulu datang itu mencatat dengan detail apa yang telah ia berikan kepada si pemilik hajatan supaya jika kelak si tamu mempunyai hajatan maka si pemilik hajatan yang dulu dijumpainya disuruh membayar atau mengganti sejumlah uang atau barang yang diberikannya dulu. Semuanya dicatat kembali dalam sebuah undangan.

Tradisi ini tidak dijalankan sepenuhnya, ada yang masih meneruskannya ada pula yang meninggalkannya. Tidak ada hukum yang salah jika masih meneruskannya karena itu bagian dari tradisi masa lalu. Namun bagi sebagian orang, narik gintingan ini seperti menghilangkan esensi dari sebuah pernikahan.

Sejatinya mengundang orang untuk datang adalah sebuah upaya yang baik apalagi jika yang diundang datang. Jika yang diundang menerima narik gintingan, prasangka buruk pasti akan muncul. Akhirnya ia datang ke pesta pernikahan bukan untuk sekedar datang malah merasa sedang membayar hutang atau ditagih hutang. 

Untungnya, si pemilik hajatan tidak membawa buku daftar tamu yang memuat berapa jumlah uang atau barang yang harus dibayarkan ketika pesta pernikahan tiba. Jadi tidak semua orang yang datang membawa sejumlah uang yang tertera dalam undangannya, bisa lebih atau bisa kurang.

Hanya saja bagi sebagian orang yang masih ingin meneruskan tradisi narik gintingan maka ia akan menuliskan nama di balik amplop atau barang yang dibawakan lalu mencatatnya di buku begitu pulang dari kondangan. Tujuannya untuk meneruskan narik gintingan kelak.

Di daerah saya, perlahan-lahan tradisi ini mulai hilang. Mereka murni mengudang tanpa berharap imbalan bagi yang datang. Namun untuk undangan syukuran khitanan, tradisi ini masih santer dilakukan. Namanya juga anak-anak, mereka akan senang jika menerima uang banyak untuk membeli mainan. Bisa juga mereka dipengaruhi orang tua mereka agar bisa balik modal atas biaya sunat ke dokter sunat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun