Mohon tunggu...
Murni Marlina Simarmata
Murni Marlina Simarmata Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Aro Gapopin

Menulis untuk mengasah disiplin berpikir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Habibie, Teknolog atau Teknokrat?

21 September 2019   04:22 Diperbarui: 21 September 2019   05:13 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah teknolog tentu masih asing dalam literatur Indonesia dan belum dimuat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tapi istilah ini sengaja digunakan di sini untuk mengenang salah satu dedikasi dan sumbangan BJ Habibie bagi Indonesia yang sering kali luput dari perhatian banyak orang, terutama kaum milenial atau generasi lebih muda. 

Masih terasa suasana duka karena kehilangan sosok jenius dan bersahaja tersebut, tapi penting rasanya meluangkan waktu merefleksikan sejauh mana kita telah mewujudkan gagasan tentang teknologi yang pernah diperkenalkan, dibela dan ditekuninya sepenuh hati untuk kemajuan Indonesia.

Kalau kita membaca kembali koran-koran lawas seputar sepak terjang Habibie membangun kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya sains dan teknologi,  akan tampak jelas bahwa jalan yang dia tempuh jauh dari kisah-kisah romantis sebagaimana disajikan mayoritas media sekarang. Habibie sering menjadi bahan ejekan karena gagasan teknologi yang dia tawarkan tak sepenuhnya dapat dipahami banyak pejabat dan penduduk Indonesia.

Kurang lebih 45 tahun lalu, Habibie hadir kembali di Indonesia dengan sebuah misi mulia: memacu kemajuan negerinya tercinta melalui pengembangan sains dan teknologi. 

Untuk tujuan itu dia rela meninggalkan jabatan prestisius yang telah memberinya kemapanan dan kehormatan tinggi di sebuah negara maju (Jerman). Kendati dia dengan cepat mendapat popularitas, gagasan yang dia bawa tidak serta merta dapat dipahami dan diterima.

Sebagai negara agraris, agak sulit diterima akal sehat banyak orang waktu itu bahwa Indonesia akan mampu ambil bagian dalam persaingan teknologi. Maka Habibie mencoba menggunakan penjelasan yang lebih relevan dan mudah dipahami: penguasaan teknologi akan membantu Indonesia memberi nilai tambah pada hasil pertanian dan kekayaan alamnya. 

Contoh yang sering digunakan Habibie menjadi terkenal dan sering dikutip dalam berbagai kesempatan: besi seharga Rp. 1.000 per kilo bisa menjadi Rp. 100.000 atau lebih per kilo kalau diubah menjadi jarum dan teknologi dibutuhkan untuk mengubah besi menjadi jarum dengan ongkos yang murah.

Betapapun contoh dan penjelasan Habibie menjadi lebih mudah dicerna, kegamangan penduduk dan pemerintah untuk mendukung gagasannya masih terus berlanjut terutama karena teknologi  yang dia kembangkan kemudian adalah teknologi pesawat terbang, bukan teknologi mesin pembuat jarum atau mesin pengolah rotan. 

Para teknokrat yang menjadi arsitek pembangunan ekonomi Indonesia waktu itu agaknya sulit menerima bahwa sebuah negara agraris dapat mengalami kemajuan eksponensial, melalui penguasaan teknologi sekalipun. Mereka sepenuhnya berpegang pada doktrin bahwa kemajuan hanya dapat dicapai secara bertahap.

Maka ketika pesawat produksi industri yang dipimpin Habibie ditukar Thailan dengan beras ketan, berbagai sindiran dari para teknokrat mengemuka baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun