Mohon tunggu...
Moh. Toriqul Chaer
Moh. Toriqul Chaer Mohon Tunggu... lainnya -

Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda. (Dale Carnegie)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penerapan Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan

13 Oktober 2011   09:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:00 9634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penerapan Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan



Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuanyang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaranseperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).

pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya.

Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.

Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsionaldikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya.

Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi

Tahapan

Ontologi

(Hakikat Ilmu)


  • Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
  • Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
  • Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
  • Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
  • Bagaimana prosedurnya?

Epistimologi

(Cara Mendapatkan Pengetahuan)


  • Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
  • Bagaimana prosedurnya?
  • Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?
  • Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
  • Apa kriterianya?
  • Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

Aksiologi

(Guna Pengetahuan)


  • Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
  • Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
  • Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
  • Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologiilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua­lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke­yakinan kita masing- masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.

Epistemologiilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke­nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke­budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman­faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.

Landasan ontologis ilmu[1]berkaitan dengan hakikat ilmu; secara ontologis, ilmu mengkaji realitas sebagaimana adanya (das Sein). Persoalan yang didalami: ”Apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?” Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan: ”Apakah yang membedakan penjelasan ilmiah dengan penjelasan lainnya?”. Dikarenakan dalam Filsafat ilmu berkaitan dengan Ontologi, Filsafat Ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material maupun objek formal ? apakah objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan ?. Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai obyek empiris.

Asumsi pertama, menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa obyek yang serupa kedalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap obyek-obyek yang ditelaahnya dan Taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Linnaeus (1707-1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan tumbuhansecara sistematis. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu-individu dalam suatu kelas tertentu mempunyai cirri-ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu melainkan suatu kelas tertentu.

Asumsi kedua, adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda. Kelestarian relative dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.

Asumsi yang ketiga, adalah determinisme; merupakan anggapan tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (propabilistik) (Suriasumantri, 2006:7-8)[2]. Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa terdapat tiga hal distingtif penjelasan ilmiah (scientific explanation): (1) deduktif, (2) probabilistik, (3) fungsional atauteleologis, dan yang keempat, menurut Ernest Nagel, adalah (4) genetik[3], atau seringkali disebut dengan penjelasan historis[4].

Landasan epistemologis ilmu[5]berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu dan sarana berpikir ilmiah lainnya, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika. Landasan ini berangkat dari suatu premis bahwa sesungguhnya alam semesta tidak berbicara (dalam arti formal); ia hanya memanifestasikan diri dalam dan lewat fakta-fakta saja agar sains dapat berada, metode-metode (mekanisme-mekanisme) tertentu harus diciptakan, untuk ”menanyai” alam semesta dan bahkan untuk menerima darinya jawaban-jawaban yang signifikatif dan kondusif. Inilah fungsi pokok metode ilmiah yang akan dielaborasi lebih jauh nanti. Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan: (1) ”Apakah ilmu menjamin diperolehnya kebenaran?”, (2) ”Apakah batas-batas pengetahuan ilmiah itu?” Terhadap pertanyaan pertama, diajukan proposisi bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu yang stabil atau yang sudah ada, melainkan berada dalam sejarah yang senantiasa berubah.Louis Leahy (2002: 17) memberikan analogi ilustratif, " kita naik selangkah demi selangkah dari suatu tangga yang panjang; sehingga dewasa ini kepada kita disajikansuatu perspektif yang dahulu tidak ada, dan yang memungkinkan kita untuk menentukan relasi-relasi antara segi-segi alam semesta".[6] .Di samping itu, sejarah ilmu menunjukkan bahwa para filsuf dan ilmuwan tidak mampu merumuskan perangkat ketentuan yang universal diterima semua orang untuk menilai kebenaran (Alsa, 2003: 3)[7]. Argumentasi ini semakin diperumit lagi apabila pemikiranMichael Foucault diikutsertakan, bahwa kebenaran-pun ditunjuk dalam setiap wacana ilmiah dimana kuasa strategi dipraktikkan. Demikian pula, kita dapat menjadi semakin pesimis. mengenai penjaminan pemerolehan kebenaran oleh ilmu, apabila kita merujuk pada hipotesis Foucault bahwa sejarah pengetahuan tidak begitu saja patuh pada hukum umum kemajuan nalar. Di bawah apa yang diketahui oleh ilmu pengetahuan, ada sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi yang mempunyai hukum dan aturannya sendiri. Tidak mengherankan, Foucault memposisikan psikoanalisis (di samping etnologi) secara khusus, bukan karena berhasil menjadi ilmiah dengan memantapkan landasan positivitasnya, tetapi karena terus mempertanyakan segala sesuatu yang tampak mapan (Leksono, 2002: 31)[8].

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa yang dijamin untuk diperoleh oleh ilmu hanyalah jenis kebenaran ilmiah (scientific truth), meskipun sifat-sifatnya tidak mutlak, tidak samad, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif), dan hanya merupakan pendekatan (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 239) ”Kebenaran ilmiah” dalam tulisan ini diartikan sebagai kebenaran yang didapat melalui cara-cara baku yang disebut ”metode ilmiah”.

Menurut Shaw dan Costanzo (Sarwono, S. W, 2002: 5)[9], teori merupakan serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atausejumlah gejala.Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan sedikitnya empat fungsi teori : (1) menjelaskan atau memberi tafsir baru terhadap fenomena (2) menghubungkan satu konsep/konstruk dengan konsep/konstruk yang lain, (3) memprediksi gejala, dan (4) menyediakan kerangka yang lebih luas dari temuan dan pengamatan[10].Metode Ilmiah-lah yang merupakan prosedur baku yang berfungsi temuan dan pengamatan. Metode Ilmiah yang merupakan prosedur baku yang berfungsi menghasilkan teori/kebenaran yang dimaksud. Metode ilmiah merupakan rentetan-rentetan daur-daur penyimpulan rampatan, Hipotetiko (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan penyalinan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai (Wilardjo dalam Suriasumantri, 2006)[11] ; jadi, kebenaran yang didapat dengan cara lain tidak disebut kebenaran ilmiah, kecuali aksioma seperti dalam matematika (Marzoeki, 2000: 15)[12]. Suatu pertanyaan teoritis mesti berlandaskan pada peryataan sebelumnya. Peryataan sebelumnya harus berlandaskan peryataan sebelumnya lagi, dan seterusnya sehingga kita dapat sampaipada peryataan yang paling pangkal diajukan. Peryataan ini dianggap terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan diterima umum sebagai kebenaran (universally recognized as truth) disebut aksioma. Ada kebenaran lain dan sumber kebenaran lain (filsafat, seni, agama, dsb) (Suriasumantri, 2006)[13].

Selanjutnya, terhadap pertanyaan epistemologis kedua, dapat dikemukakan bahwa dikalangan para ahli-ahli sejarah sains dan (kajian-kajian ) metodologi ilmiah mengakui adanya jenis masalah yang meskipun lahir dari dalam sains, namun melampaui batas-batassains itu (Leahy, 1997: 32-40)[14].

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ilmiah itu terbatas setidaknya berdasarkan dua argumen pokok: (1) keterbatasan persepsi, memori, dan penalaran, (2) implikasi saintifik kosmos terhadap pertanyaan-pertanyaan paripurna. Pertama, kiranya sudah sangat jelas bahwa persepsi, ingatan, dan penalaran sebagai sumber pemerolehan pengetahuan manusia mempunyai kelemahan-kelemahan (Suriasumantri, 2006)[15]. Dalam kaitan ini, kegiatan berpikir dalam ilmu menggunakan objek-objek material berupa gejala-gejala konkret yang dapat diamati secara langsung[16].

[1] Hakekat atau kenyataan atau realitas memang dapat didekati secara ontologis dengan dua macam sudut pandang, yang pertama, kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak ? yang kedua, kualitatif yakni dengan mempertanyakan kenyataan atau realitas tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya : daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun