Mohon tunggu...
Munazar Rafsanjani Muarif
Munazar Rafsanjani Muarif Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa MIE

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Percaturan Ekonomi Cina dan Amerika

28 Juli 2017   09:27 Diperbarui: 28 Juli 2017   09:43 4218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: site.6park.com

Pasca berakhirnya perang dunia ke II permasalahan ekonomi semakin kompleks dan merupakan suatu hal yang menjadi pusat perhatian banyak orang sebagaimana yang kita ketahui salah satu faktor untuk mengukur keberhasilan suatu Negara adalah dengan melihat pertumbuhan ekonominya. Keadaan seperti ini mendesak negara- negara di dunia harus mampu Survive dengan hak otonomi yang dimilikinya. Kondisi perekonomian suatu Negara sangat mempengaruhi kebijakan ekonomi politiknya, yang tentu akan berkaitan dengan Negara Lainnya.

Beberapa kasus telah menggambarkan bahwa ada keterkaitan kebijakan suatu Negara terhadap Negara lain. Salah satunya adalah kebijakan China dalam strategi nilai tukar mata uangnya. Untuk kelas Negara "Peralihan" seperti China tentunya nilai tukar  adalah sangat penting karena Negara terbesar pada Asia Timur ini adalah Negara Eksportir terbesar  di dunia yang menjadi tujuan Investasi Negara- negara maju.  Oleh karena itu jangan heran ketika Negara sekelas Arab Saudi pun mau memberikan Investasi lebih besar ke china di bandingkan Indonesia, selain negara eksportir terbesar China pun termasuk Negara yang mempunyai kestabilan politik cukup baik sehingga mendukung iklim Investasi. Alasan inilah yang membuat China memang sudah di percaya menjadi pabrik- pabrik produksi oleh perusahaan Multinasional.

"Fixed exchange rate system"  mendorong pertumbuhan ekonomi China  dengan menjadikan investasi di China menjadi sangat aman dan membuat harga produk china menjadi relatif murah di bandingkan Negara lain. Sesungguhnya bagi para Investor China ibarat surga yang menjamin dan menguntungkan sehingga membuat mereka sangat sulit menjauh dari pasar China. Dampak jangkauan global yang di buat oleh China, contoh kita menggunakkan handphone , Headshet, Cashing tiruan  dll yang murah buatan China di rumah. China juga dapat menyentuh orang- orang Amerika dan Eropa yang konsumtif, pada dasarnya memang sudah mempu menyentuh seluruh Dunia.

Pada Tahun 2015 China melakukan kebijakan "Devaluasi"  mata uang sehingga banyak mengegerkan  penggiat ekonomi dunia. Devaluasi  mata uang yang dilakukan oleh China ini di akibatkan karena adanya perunan Ekspor China 8,3% (year on year/y-o-y) pada Juli 2015, berada jauh pada estimasi akan penurunan ekspor sebesar 1%. Dengan adanya pelemahan mata uang ini sangat diharapkan dapat memacu naiknya ekspor China dan meningkatkan daya saing Produk lokal terhadap barang- barang impor. Perjalanan China dalam mendevaluasi Yuan ini mendapat banyak tekanan Internasional. Banyak kecaman dan tuduhan yang di lekatkan kepada China termasuk dicap sebagai "Currency Manipulator" terutama bagi Amerika Serikat yang merasa dirugikan akibat Dollar dijadikan patokan oleh China.

Dikutip dari BBC (Gaol, 2010) mengatakan Kebijakan China dalam mematok Yuan terhadap Dollar dinilai memiliki dampak Negatif, Salah satunya adalah Inflasi karena karena bank Central China perlu menggunakan cadangan devisanya untuk menjaga nilai Yuan. Cadangan devisa yang dimiliki oleh China Sebesar US$ 2 Triliun yang secara teori banyak pengamat yang sepakat bahwa China seharusnya mampu melakukan Floating exchange rate (Kebijakan Nilai tukar mengambang), karena dengan pertumbuhan ekonomi China yang jauh lebih tinggi daripada Amerika Serikat serta surplus neraca perdaganganya lebih besar daripada Negara maju lainya, secara teori mata uang Yuan harus menguat. Tetapi kedalanya adalah pemerintah China belum siap ekonomi dalam Negerinya mengganti ekspor sebagai penggerak ekonominya karena jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu kekuatan pasar domestik China.

Amerika Serikat memandang adanya ketidak seimbangan perdagangan antara Amerika dan China diakibatkan oleh murahnya produk- produk China yang berhasil masuk pasar Amerika tetapi mahalnya produk Amerika sehingga tak bisa menembus pasar China. Pada saat krisis Amerika Tahun 2008 Amerika mulai bersikeras menekan China untuk menaikan nilai mata uangnya dengan harapan jadi motor pertumbuhan ekonomi dunia, mereka beranggapan bahwa China harus bertanggung jawab dalam pemulihan ekonomi dunia, tak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri.

Dengan Alibi ini Amerika Serikat berharap China bisa Merevaluasi nilai tukarnya agar supaya Negara tirai bambu tersebut akan lebih banyak mengimpor barang Amerika. Apabila barang Amerika naik diserap oleh China makan akan membantu pemulihan Ekonomi Amerika. Namun Ekspektasi Amerika tak sesuai dengan Realita China mempunyai Power yang cukup kuat untuk mengatakan "Tidak", berbeda dengan Jepang pada Tahun 1984 yang bisa ditekan oleh Amerika sehingga tak mampu berkata tidak di depan Negara OECD (Organization for Economic Co-operation and Development).

Strategi yang dilakukan China dalam mendevaluasi mata uangnya memang kuno tapi cara ini sangat efektif. Cara ini juga pernah dilakukan Amerika pada tahun 1970- an dalam kepemimpinan Richard Noxon ketika sistem Bretton woods menunjukan tanda- tanda krisis dan saat itu Amerika kesulitan ekonomi diakibatkan berperang dengan Vietnam, kemudian Amerika membuat kebijakan membebaskan dollar dari emas untuk mencegah cadangan emas Amerika mengalir. Sekarang cara terbaru yang di lakukan China adalah dengan memanfaatkan Bank Central, China Hampir memegang seluruh dollar dari Negara Tersebut. Dikatakan oleh Fishman Dollar bertambah sedikit demi sedikit dalam rekening pemerintah ketika perusahaan- perusahaan China memperoleh uang dari penjualan ke luar negeri menukarkan dollarnya untuk memperoleh Yuan.

Salah satu pakar Ekonomi, Cox berpendapat bahwa China juga memiliki prinsip untuk mendahulukan kepentingan konsumen, jadi jika melihat konsumen adalah raja maka praktek produksi yang di lakukan oleh China disebut  Dumping. Para pakar ekonomi mendefinisikan Dumping adalah praktek penjualan barang di bawah biaya yang dibutuhkan produsen untuk menghasilkanya. Rational Choice yang diambil oleh china tak bisa di pandang sebelah mata karena China tetap bertahan pada keputusanya untuk tidak menaikan nilai mata uang, Pemerintah China masih memikirkan untuk mensejahterakan Rakyatnya dengan memajukan produksi manufakturnya dan membuka peluang Investasi Asing sebesar- besarnya. Meskipun dalam strategi yang diambil, harus menggunakan cara yang melanggar peraturan Ekonomi Internasional dengan tidak mengakui melakukan cara Dumping. Keuntungan dari strategi ini adalah China menggenggam kekuatan Ekonomi melebihi Amerika, tentunya itu juga terbantu dengan adanya krisis Amerika Tahun 2008.

Untuk Indonesia sendiri dampak atas murahnya harga ekspor China mungkin tak terlalu terasa karena Indonesia banyak mengekspor bahan mentah dan China banyak mengekspor bahan jadi.  Hubungan bilateral antar Negara pun kian membaik, hubungan baik antara kedua Negara dipertegas dalam pameran Technical Equipment and Comodities 2017 oleh East Best and Langsheng Group Shanghai International Trade. Pameran China Technical Tahun ini menjadi platform yang paling penting Dari kerjasama Ekonomi dan Komunikasi antara Indonesia dan Tiongkok, 

Tujuan pameran ini adalah untuk mempererat dan meningkatkan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua Negara utamanya pada bidang Ekonomi dan perdagangan. Kegiatan Ekonomi Indonesia dan China ini sudah berlangsung lama. Sudah sejak dari Tahun 2002 Indonesia dan beberapa Negara lainya telah melalui ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) kegiatan Ekspor dan Impor keduanya telah lama terjadi sebelum kita mengenal MEA beberapa waktu yang lalu. Dari proses itu banyak produk negara tirai bambu ini yang di minati di Indonesia dan sebaliknya, beberapa Produk China yang sudah di gunakan di Indonesia antara lain Ningbo Xiesheng Lighting Industrial Co., Ltd. , Shanghai Xiazhou Industry Machinery Co.,Ltd. , Neusoft Medical System Co.,Ltd dan masih banyak lagi yang lainnya. Data BPS menunjukan bahwa perdagangan Indonesia dan China mempunyai hubungan yang baik, Terhitung total nilai impor non migas yang berasal dari China adalah sebesar USD 21,99 miliar. Jumlah ini adalah kumulatif yang terhitung sejak Januari 2016 lalu. Maka tak ada salahnya juga jika Indonesia memanfaatkan momentum "Matahari terbit dari China" ini untuk sedikit memperkuat posisi Indonesia dalam Perekonomian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun