Mohon tunggu...
Taufik Mulyadin
Taufik Mulyadin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pembelajar sepanjang hayat

Pendidik di Tatar Sunda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan dan Resolusi Tahun Baru

3 Januari 2017   18:11 Diperbarui: 3 Januari 2017   18:44 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pergantian tahun sudah seharusnya menjadi momentum refleksi dan introspeksi. Makanya, muhasabahdan dzikirsertakegiatan positif lainnya banyak mewarnai di pergantan tahun kali ini. Bukan hura-hura yang cenderung membawa lebih banyak madharat. Tak hanya refleksi dan introspeksi, pergantian tahun menuntut kita membuat resolusi. Ini merupakan manifestasi harapan positif kita untuk menjadi lebih baik di tahun yang baru. Sekaligus menjadi peta agar kita tak tersesat dan melalui tahun ini biasa saja tanpa makna. Tak hanya untuk pribadi, tapi juga untuk hal besar lainnya. Tak terkecuali pendidikan.

Di tahun 2016, banyak catatan yang tertoreh dalam dunia pendidikan kita. Masih banyak yang jauh dari harapan. Tapi tak sedikit catatan baik yang layak untuk kita apresiasi. Sangat penting bagi kita mengurai persoalan pendidikan supaya kita tahu apa yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan, khususnya di tahun yang baru ini.

Pemerataan pendidikan masih harus mendapat perhatian lebih di tahun ini. Sampai saat ini, kesenjangan pendidikan di Indonesia masih jelas menganga. Pendidikan di daerah Jawa dan luar Jawa kerap kali tak berimbang. Diantaranya, kita bisa melihat dari angka partisipasi masyarakat dalam pendidikan.

Kesenjangan angka partisipasi pendidikan di daerah Jawa dan luar Jawa terjadi hampir di semua tingkat pendidikan. Di tahun sebelumnya, untuk angka partisipasi di tingkat SD/ sederajat, seluruh propinsi di Jawa berada di atas 95 persen. Namun untuk luar Jawa, masih cukup banyak propinsi yang angka partisipasinya di bawah itu. Bahkan, di propinsi Papua, masih berada di bawah 80 persen. Termasuk yang paling rendah di level nasional.

Di tingkat SMP/ sederajat, angka partisipas di semua propinsi di Jawa berada pada rentang 79 sampai 80 persen. Di luar Jawa, terutama di wilayah Indonesia Timur, masih banyak propinsi yang partisipasinya di bawah 70 persen. Agak sedikit berbeda di tingkat SMA/ sederajat. Angka partisipasi di Jawa berada di rentang 57 sampai 60 persen. Hanya DI Yogyakarta yang mencapai 68 persen lebih. Sebagian besar propinsi di luar Jawa berada di rentang itu atau bahkan lebih tinggi.

Selain angka partisipasi pendidikan yang masih jomplang antara Jawad an luar Jawa, masih banyak ketimpangan di lain hal. Seperti, infratsruktur sekolah, kualitas guru, proporsi guru-murid, fasilitas pendukung pendidikan, dan masih banyak lagi. Pemerataan pendidikan di seantero negeri ini harus menjadi resolusi di tahun baru ini. Tak boleh ada lagi daerah yang terseok pendidikannya.

Hal lain yang harus masih menjadi perhatian di tahun 2017 adalah evaluasi pendidikan, Ujian Nasional (UN). Di bawah kepemimpinan Mendikbud Anies R Baswedan, ada angin segar yang terhembus soal UN. Sejak tahun 2015, UN tak lagi dijadikan acuan tunggal atau utama penentu kelulusan. Bentuk evaluasi yang diusung lebih komprehensif. Kualitas capaian pendidikan selama bertahun-tahun tak hanya diukur dari ujian yang berjalan tak kurang dari seminggu.

Bahkan tak terdengar lagi kompetisi hasil UN antar siswa, sekolah, atau daerah. UN tak lagi jadi momok tahunan yang menakutkan baik bagi siswa, guru, maupun orang tua. Lebih dari itu, pak Anies mempelopori pendekatan baru dalam menilai kualitas UN, bukan lagi angka-angka capaian dari nilai UN tapi integritas dalam prosesnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan Indeks Integritas UN (IIUN). Sayangnya, baru saja seumur jagung, kebijakan ini berubah. Hal ini seiring dengan lengsernya pak Anies sebagai Mendikbud digantikan oleh Muhadjir Effendy. UN ditambah pelajaran lainnya kembali dijadikan acuan kelulusan. Langkah mundur bagi pendidikan kita.

Kebijakan soal UN yang berubah dan menjadikannya sebagai faktor utama penentu kelulusan memerlukan perhatian lebih dari masyarakat, aktivis, dan praktisi pendidikan serta pemegang kebijakan di tahun baru ini. Mengembalikan fitrah UN sebagai salah satu instrumen evaluasi bukan jadi algojo kelulusan siswa harus menjadi resolusi bersama.

Peran keluarga dalam pendidikan menjadi resolusi lainnya di tahun ini. Sejak tahun 2015, Kemendikbud membuat unit baru, yaitu Direktorat Pendidikan Keluarga. Direktorat ini fokus pada pendidikan keluarga dan keorangtuaan. Hal ini mengindikasikan perhatian besar pemerintah pada pelibatan keluarga dalam pendidikan.

Pendidikan seringkali dimaknai sekolah dan diserahkan semuanya pada sekolah dan guru. Padahal keluarga memegang peranan penting. Sekolah sebenarnya hanya pelengkap, bukan pengganti peran orang tua. Ditambah sekolah punya banyak keterbatasan, baik waktu, pengawasan, fungsi, maupun perannya. Keluarga lah yang menjadi benteng terdepan dalam pendidikan anak. Bukan hanya soal pelajaran, tapi yang utama soal pendidikan karakter dan proteksi dari berbagai ancaman untuk anak, mulai dari bullying, narkoba, pornografi sampai aksi kekerasan. Tanpa peran orang tua, pendidikan menjadi kering dan kurang berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun