Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyoal Tuntutan Kenaikan Tunjangan Panitera Pengganti

6 Mei 2013   22:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:59 8984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu belakangan ini di berbagai media khususnya di jejaring sosial (social network) ramai dibahas wacana mengenai kenaikan remunerasi PNS di lingkungan Mahkamah Agung RI. Hampir seluruh personil Pengadilan khususnya non Hakim di berbagai penjuru tanah air ikut andil membuat “status” menyatakan optimisme maupun pesimisme. Harapan, keluhan, silang pendapat bahkan keputusasaan tumpah ruah. Wacana ini lambat laun semakin menghangat bahkan telah berubah menjadi gelombang protes ketika para Panitera Pengganti di beberapa daerah melakukan aksi menuntut keadilan dalam pemberian tunjangan.

Tuntutan ini dilatarbelakangi oleh kesenjangan penghasilan yang dirasakan oleh para Panitera Pengganti pasca terbitnya PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. Dimana dalam PP ini diatur tentang tunjangan jabatan Hakim dengan besaran yang fantastis (paling rendah Rp.8.500.000.-). Coba bandingkan dengan tunjangan Panitera Pengganti yang terendah adalah Rp. 300.000.- (PP pada Pengadilan Negeri Klas II). Perbandingannya seperti langit dan bumi kalau bisa dikatakan seperti itu. Bila dihitung dari segi persentase maka besaran tunjangan Panitera Pengganti itu hanya 3.5 % dari tunjangan jabatan hakim yang paling rendah. Padahal mereka adalah mitra Hakim dalam persidangan yang kehadirannya meskipun bukan sebagai pejabat negara namun memiliki peran yang tidak kecil.

Pertanyaannya sekarang apakah realistis dan tidak salah alamat membandingkan tunjangan Hakim dan Panitera Pengganti ? Sebab ada juga pihak yang melontar kritik bahwa membandingkan Tunjangan Hakim dan Tunjangan Panitera adalah suatu hal yang tidak logis dan tidak proporsional. Alasannya karena Tunjangan Hakim sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 tahun 2012 tersebut adalah dalam rangka menjalankan UU. Hakim adalah pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman berhak atas jaminan keamanan dan kesejahteraan. Adapun tunjangan panitera hanya didasarkan pada kebijaksanaan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan.

Tidak ada yang menyangsikan kebenaran argumentasi ini. Namun kiranya persoalan juga perlu didudukkan secara proporsional. Kalau kita melihatnya semata dalam konteks yuridis normatif, maka apa yang tertulis dalam undang – undang itulah yang benar dan patut diperjuangkan. Dalam hal ini para hakim menuntut “kepastian hukum” atas hak mereka yang dijamin oleh Undang Undang termasuk didalamnya tunjangan jabatan sebagai salah satu elemen dan parameter kesejahteraan yang ketika itu (sebelum terbitnya PP Nomor 94 Tahun 2012) tak kunjung direalisasi.

Namun perlu diingat bahwa nilai dasar hukum tidak semata – mata kepastian hukum tapi ada nilai yang lain yaitu “keadilan”. Ini adalah entry point dari tuntutan mereka para Panitera Pengganti. Mereka hanya menuntut keadilan berupa penghasilan yang ideal dan sebanding dengan fungsi dan tanggung jawab mereka dan bukan sebanding dengan tunjangan para Hakim. Mereka tentunya tahu diri bukan sebagai pejabat negara yang berhak atas jaminan fasilitas, keamanan, kesejahteraan dan lain sebagainya.

Kalau dicermati dengan seksama antara Hakim dan Panitera dalam tataran filosofi pemberian tunjangan terdapat persamaan yang mungkin luput dari pengamatan kita yaitu pada kata “menjamin kesejahteraan” atau “meningkatkan kesejahteraan”. Apakah makna dari kesejahteraan tersebut ? Menurut Kamus Bahasa Indonesia, sejahtera bermakna aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan). Adapun makmur salah satu maknanya adalah serba kecukupan tidak kekurangan.

Sekarang timbul asumsi apakah dengan tunjangan sebesar Rp. 300.000,- itu para Panitera Pengganti dan keluarganya bisa hidup serba kecukupan dan tidak kekurangan (baca: sejahtera) ? Bahkan meskipun ditambah dengan tunjangan kinerja yang diterimanya (atau sekalian uang makannya, ditambah gaji pokoknya) dijamin dia tidak bisa hidup serba kecukupan kalau kita memang mau konsisten menggunakan istilah tersebut. Jadi dalam hal ini sebenarnya bukan persoalan perdebatan siapa yang benar dan salah, tapi menyangkut keadilan, bahwa Panitera Pengganti berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok pokok kepegawaian, bahwa pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. Kemudian disebutkan pula bahwa sistem penggajian PNS menganut sistem skala gabungan (skala tunggal dan skala ganda). Dimana gaji pokok ditentukan sama besar bagi Pegawai Negeri yang berpangkat sama, disamping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga secara terus menerus.

Kalau kita mengkorelasinya dengan tugas pokok dan fungsi Panitera Pengganti tentunya sangat relevan, bahwa pekerjaan Panitera Pengganti adalah pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan pengerahan tenaga secara terus menerus, karena proses berperkara tentunya merupakan proses yang berlanjut terus. Belum lagi apabila Panitera Pengganti tersebut juga diperbantukan pada Kepaniteraan untuk melakukan tugas-tugas administrasi perkara sebagaimana yang umum terjadi di setiap pengadilan. Tentunya beban kerjanya akan semakin bertambah sehingga sangat pantas dan sudah sewajarnya mereka memperoleh penghasilan yang adil dan layak.

Cukuplah diskriminasi terhadap Panitera Pengganti hanya sebatas jenjang karirnya saja, karena walau bagaimana pun juga Panitera Pengganti berupaya, ia tidak bakalan sampai berkarir di Mahkamah Agung sebagai Panitera Pengganti apalagi sampai menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung karena undang – undang telah membatasi demikian bahwa jabatan tersebut hanya bisa di isi oleh para Hakim. Padahal sebenarnya dengan tidak mengurangi sedikit pun rasa penghormatan terhadap para Hakim, banyak sekali para Panitera Pengganti yang kompeten untuk diangkat sebagai hakim. Lagipula rekam jejak, kapabilitas, prestasi dan integritas moral mereka dapat dengan mudah dilacak sehingga lebih terjamin ketika menyandang amanah jabatan sebagai “Hakim”. Namun apadaya sekali lagi undang – undang tidak memperkenankan.

Jangan lagi para Panitera Pengganti ini diperlakukan diskriminatif dan keberadaan mereka semakin di-alienasikan dengan pemberian tunjangan yang tidak layak karena mereka juga punya keluarga, anak dan istri yang perlu diberi nafkah. Kalau memang keberadaan mereka selama ini ingin dipertahankan hanya sebagai “juru ketik BAP” maka paling tidak para pucuk pimpinan Mahkamah Agung hendaknya berupaya semaksimal mungkin memperjuangkan kesejahteraan mereka. Supaya mereka dapat bekerja optimal mengetik BAP tanpa harus mengkhawatirkan nasib masa depan keluarga mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun