Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bolehkah Memberi Nama Pulau dengan Bahasa Asing?

19 Januari 2017   01:04 Diperbarui: 4 April 2017   16:41 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau kecil di Samudera Hindia (Dokumentasi Pribadi)

Pekan lalu publik dihebohkan oleh berita yang berjudul “Luhut Bebaskan Asing Beri Nama 4.000 Pulau di Indonesia” (viva.co.id, 9 Januari 2017). Dalam berita itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, "Jadi apa masalahnya, kita enggak jual pulau kok, tapi kau enggak boleh beri (nama) Belitung, kecuali kau kasih nama Yokohama pun suka-suka kau itu, tapi pulau itu masih milik orang Indonesia bukan punya Jepang."

Berita itu cukup mengejutkan dan menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya, benarkah itu pernyataan Pak Menko? Dalam hati, saya berharap berita itu tidak benar alias hoax. Namun, beberapa stasiun televisi bahkan mengulang-ulang pernyataan itu. Sampai akhirnya saya berkesimpulan bahwa berita itu benar.

Pertanyaan pertama yang mengganggu pikiran saya, apakah buku bercover biru tentang Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi sudah dibatalkan? Pertanyaan kedua, apakah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Rupabumi juga sudah dicabut? Mudah-mudahan masih berlaku.

Selama ini, dasar pembakuan nama rupabumi mengacu kepada buku bercover biru dan PP Nomor 112 Tahun 2006 tersebut. Misalnya, untuk mengetahui apa itu unsur fisik rupabumi? Pada halaman 5 buku Prinsip, Kebijakan dan Prosedur Pembakuan Nama Rupabumi didefiniskan:

“Unsur fisik adalah unsur yang berada di permukaan daratan, lautan dan di bawah permukaan laut yang identitasnya dapat dikenali. Contoh, antara lain: gunung, pegunungan, bukit, dataran tinggi, gua, lembah, danau, sungai, muara, samudera, laut, selat, teluk, pulau, kepulauan, tanjung, semenanjung, gunung bawah laut (seamount), palung.”

Siapa yang bertugas membakukan secara nasional nama, ejaan, dan ucapan unsur rupabumi di Indonesia dalam bentuk gasetir nasional? Mereka adalah Menteri Dalam Negeri (Ketua merangkap anggota); dengan anggota Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Perikanan dan Kelautan, Menteri Pendidikan Nasional. Sekretaris I Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; Sekretaris II Dirjen Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri.

Untuk diketahui, sebenarnya ada 11 prinsip pemberian nama rupabumi:

  • Prinsip 1: Penggunaan huruf Romawi,
  • Prinsip 2: Satu nama untuk satu unsur rupabumi,
  • Prinsip 3: Penggunaan nama lokal,
  • Prinsip 4: Penggunaan elemen generik lokal,
  • Prinsip 5: Nama berdasarkan Undang-undang atau Keputusan Presiden,
  • Prinsip 6: Tidak bersifat SARA,
  • Prinsip 7: Tidak menggunakan nama berbahasa asing,
  • Prinsip 8: Tidak menggunakan nama diri,
  • Prinsip 9: Tidak menggunakan nama yang terlalu panjang,
  • Prinsip 10: Tidak menggunakan rumus matematika,
  • dan Prinsip 11: Pemberian nama unsur rupabumi buatan manusia.

Apa maksud Prinsip 7 (tidak menggunakan nama berbahasa asing)? Nama unsur rupabumi tidak menggunakan nama berbahasa asing dalam hal ini terkait dengan prinsip 3. Contoh penggunaan nama yang menggunakan bahasa asing, seperti Bogor Lake Side, Billabong Park View.

Bagaimana dengan gagasan menyerahkan pemberian nama 4.000 pulau di Indonesia oleh asing (investor)? Tentu tidak sesuai dengan Prinsip 7 dari pemberian nama rupabumi. Untuk menamakan Bogor Lake Side saja tidak diperkenankan, apalagi nama Yokohama atau Nagasaki.

Siapa tahu PP Nomor 112 Tahun 2006 dan buku bercover biru itu akhirnya direvisi, tentu tidak tertutup kemungkinan penamaan pulau-pulau itu disesuaikan dengan selera para investor. Mau protes? Sampai di mana suara rakyat biasa bisa memmengaruhi kebijakan. Paling-paling suara itu hanya bisa ditulis di Kompasiana. Itu pun kalau dibaca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun