Mohon tunggu...
Muhammad Arif Hidayat
Muhammad Arif Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Belajar, Berkarya, Bermanfaat

Santri TBM Panggon Sinau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Imam Al-Ghozali

20 Juni 2017   08:20 Diperbarui: 20 Juni 2017   08:42 2347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu peradaban akan maju apabila tradisi keilmuan dalam peradaban tersebut mekar dan berkembang. Peradaban Islam masa lampau telah membuktikan hal tersebut. Kemajuan peradaban Islam masa itu diiringi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada saat peradaban islam menjadi yang paling maju, barangkali banyak orang kaya dan berharta yang hidup pada masa itu, namun dalam narasi sejarah sangat sedikit dapat kita kenali orang-orang dari golongan kaya yang menghiasi dan mewarnai perjalanan sejarah peradaban islam. Di sisi lain, akan sangat mudah bagi kita untuk menemukan jejak warisan intelektual dari para pemikir, cendekiawan, filsuf dan ulama pada masa itu.

Itu artinya, penghargaan dan penghormatan terhadap orang yang berillmu jauh lebih tinggi daripada orang yang berharta. Warisan kekayaan bersifat sesaat, mudah habis dan tak penting untuk diingat nama pewarisnya. Berbeda dengan warisan intelektual yang akan bertahan lama, semakin disebar akan semakin berkembang dan nama pewarisnya akan terus "abadi", karena buah pemikirannya terus dikupas dan dikaji lintas zaman dan generasi.

Diantara deretan para pemikir yang menorehkan tinta emas pada lembaran sejarah islam, tersebutlah nama seorang lelaki yaitu Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad  bin Ahmad At-Thusi, atau yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali. Ia dilahirkan  pada tahun 450 H, di sebuah desa bernama Thusia, yang masuk dalam wilayah Iran. Ayahnya merupakan seorang pemintal wol yang shaleh dan bersahaja, meskipun hidup dalam kondisi serba kekurangan.

Ketika Al-Ghazali masih kecil ayahnya meninggalkannya untuk selama-lamanya, namun sebelum meninggal sang ayah telah menuliskan wasiat kepada seorang temannya yang merupakan seorang sufi agar bersedia merawat dan mendidik putra yang dicintaiya, Al-Ghazali. Waktu terus berlalu, hari demi hari terus berjalan, Al-Ghazali masih dalam didikan kerabat ayahnya. Hingga suatu ketika, sufi tersebut kehabisan harta untuk merawat dan membesarkan Al-Ghazali, maka dengan berat hati sufi tersebut menitipkan Al-Ghazali ke sebuah madrasah agar kebutuhan hidup Al-Ghazali dapat terpenuhi.

Dalam madrasah tersebut Al-Ghzali terus menimba ilmu. Bahkan ia rela mendatangi seorang guru yang berada di luar daerahnya hanya untuk menimba ilmu. Suatu ketika Al-Ghozali belajar kepada seorang guru bernama Abu Nasar Al-Ismaily, setelah merasa cukup dengan apa yang diperolehnya Al-Ghozali pulang ke tanah kelahirannya di Thusia. Namun di tengah perjalanan, Al-Ghazali bertemu dengan kawanan perampok yang menghentikannya dan merampas barang bawaanya,termasuk tas yang berisi catatan-catatan yang diperoleh selama belajar dari gurunya. Kawanan perampok itupun pergi meninggalkan Al-Ghazali,  namun karena merasa begitu berharganya catatan-catatan tersebut Al-Ghzalipun mengikuti jejak perampok itu, untuk kemudian meminta kembali tas yang berisi catatan-catatanya.

Setelah menemukan kawanan perampok tersebut al-Ghozali meminta untuk dikembalikan tasnya karena berisi catatan-catatan ilmu yang telah dipelajarinya. Sejurus kemudian para perampok itupun tertawa dan mengatakan " Apakah jika kamu tidak mengetahui catatanmu lantas kamu menjadi bodoh". Kata-kata tersebut terus terngiang dalam pikiran Al-Gholzai, meskipun pada akhirnya tas yang berisi catatan itu dikembalikan oleh para perampok. Al-Ghozali termenung sampe akhirnya ia berkesimpulan bahwa ia harus mengingat seluruh ilmu yang dipelajarinya, ia mengatakan " Ketika aku menetap di Thusia, aku bekerja selama tiga tahun sampai aku hafal seluruh catatanku. Andaikata aku mengalami perampokan lagi dengan izin Allah maka aku tidak akan kehilangan ilmuku."

Beberapa saat kemudian Al-Ghazali melanjutkan perjalanan pencarian ilmunya, kali ini ia singgah di Neishabur. Ia berguru pada seorang ulama terkenal di zamannya yaitu Imam Juwaini atau juga dikenal dengan nama Imam Haramain. Kepada Imam Haramain, Al-Ghazali belajar banyak hal. Dibawah didikan Imam Haramain, Al-Ghazali menjai sosok yang cerdas dan jenius. Sampai suatu ketika dalam usia yang masih muda, Al-Ghazali telah mampu menuliskan sebuah kitab berjudul Al-Manqul. Kitab tersebut dengan cepat menjadi bahan pembicaraan para akademisi pada saat itu, sampai-sampai karena merasa Al-Ghazali telah menjadi sosok yang begitu terkenal, Imam Haramain mengatakan kepada Al-Ghazali " Engkau telah menguburku saat aku masih hidup, mengapa engkau tidak bersabar, karyamu telah mengubur karyaku."

Pada tahun 478 H, Imam Haramain meninggal dunia. Setelah kematian gurunya tersebut, Al-Ghozali pergi ke Istana untuk menemui Perdana Menteri Nizam Al-Mulk. Nizam Al-Mulk merupakan seorang pemimpin yang memberi perhatian besar dalam bidang pendidikan. Ia mendirikan sebah universitas bernama Universitas Nizamiah. Di universitas tersebutlah tempat berkumpul para cendekiawan dari berbagai daerah, dan ditemat itu pula Al-Ghozali mampu menampilkan kejeniuasannya dalam berbagai forum diskusi. Nama Al-Ghozali pun semakin tenar, Perdana Menteri juga terkesan dengan kejeniusannya, maka diangkatlah Al-Ghozali oleh Nizam Al-Mulk sebagai Guru Besar di Universitas Nizamiyah.

Predikat guru besar yang disandang Al-Ghozali membuatnya memperoleh fasilitas dan harta yang berlimpah. Namanya semakin masyhur dan kedudukannya menjadi begitu mulia dalam dunia pendidikan. Keluasan ilmu, kekayaan, nama yang harum, kedudukan yang mulai, sosok yang disegani, semuanya telah didapatkan Al-Ghozali pada saat itu, namun itu semua tidak membuatnya terlena. Al-Ghozali tetap berkarya dan terus belajar. Sampai pada suatu ketika Al-Ghozali merasa ada yang hampa dalam dirinya, ada yang keliru dengan segala kemeriahan hidupnya. Al-Ghozali termenung. Ia kemudian banyak membaca kitab-kitab tasawuf karya al-Makky, Al-Muhaisibi dan lainnya. Jiwanya mulai bergejolak, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengasingan diri, beruzlah, meninggalkan segala ketenaran, kemewahan, dan kedudukan yanng telah diperolehnya.

Pada tahun 488 H, Al-Ghozali meninggalkan Baghdad. Ia melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci, ia tidak kembali ke Baghdad, akan tetapi memilih tinggal menyendiri di sebuah menara masjid di Damaskus, Syiria. Al-Ghozali tinggal di menara tersebut selama kurang lebih 10 tahun. Selama tinggal menyendiri itu Al-Ghozali tetap menulis dan bahkan mampu menghasil karya "magnum opusnya", yang berjudul Ihya Ulumuddin. Karya ini masih dikaji hingga saat ini, termasuk dalam lingkungan pesantren di Indonesia.  

Sekembalinya dari uzlah, Al-Ghozali menjadi sosok yang berbeda. Ia telah jatuh hati pada gagasan-gagasan tasawuf. Dan dibawah goresan penanya pulalah ilmu tasawuf mencapai puncak kejayaannya. Gagasan tasawuf  Al-Ghozali disambut dengan baik oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, yang dikemudian hari mendirikan tarekat Qadariyah. Tawaran untuk mengajar, kembali datang dari Universitas Nizhamiyyah. Untuk beberapa saat, tidak telampau lama, Al-Ghazali kembali mengajar di Universitas tersebut. Namun lagi-lagi Al-Ghazali tidak menemukan ketenangan, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamanya dan mendirikan masdarasah di tempat tinggalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun