Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kritik Sastra Kreatif : Hubungan Resiprokal antara Penulis dan Pembaca

30 Desember 2011   01:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:35 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio


author │ text
──────────
before │ after

Saat menuangkan pengalamannya ke dalam karya (text), pengarang adalah individu yang menyalin ulang makna-mana kehidupan yang sudah mapan. Ia adalah pribadi yang melewati garis pemisah (before - after) antara kenangan hidup sebelumnya dengan realitas empiris dan hilang menjadi karya (text) dengan realitas imajinatif yang multitafsir. “Pengarang telah mati!” Pemaknaan atas eksistensi pengarang kini ia hanyalah sebagai ‘tulisan siap saji’ ditinjau dari perspektif kebahasaan. Misal, bila di dalam karya (text) ditemukan kata “saya / aku”, ternyata secara kebahasaan itu adalah “subject” dan bukan pengarang.

Benarkah demikian konsep pemaknaan dari Roland Barthes ini? Jika benar adanya, maka tak menutup kemungkinan tersedianya ruang bagi pembaca / publik sastra untuk mengapresiasi sekaligus membuat kritik sastra jenre baru, yaitu kritik sastra kreatif. Mengapa mesti ada kritik sastra kreatif? Mari kita diskusikan bersama.

Pertama, kita mesti memahami dulu bahwa sastra adalah “media” yang menyampaikan persoalan kehidupan. Persoalan kehidupan seperti apa yang dikemukakan oleh sastra sebagai fasilitator penulis kreatif sehubungan dengan keinginannya menuangkan dan merefleksikan pengalaman empiris pribadinya menjadi karya (teks) sastra?

Kalau kita menyimak bagaimana karya-karya sastra tertentu telah yang mendapatkan tempat tersendiri di hati khalayak pembacanya, kita dapat mengetahui bahwa sastra sebagai media menyuarakan masalah hidup yang bersifat universal seperti cinta kasih, kebahagiaan, kesepian, ambisi, kebencian, kejahatan, kesalehan individual mau pun kolektif, dan lain sebagainya. Melalui sastra, pengarang mencoba suatu pemberontakan atas keadaan yang menurut pengamatannya yang tersendiri dan sangat peka, keadaan yang ditemuinya sangat tak layak lagi. Ambil sebagai contoh, Andrea Hirata tahu bahwa pendidikan sangat penting dan perlu didukung sepenuhnya oleh pihak-pihak yang berkewajiban demi menciptakan generasi yang berpengetahuan dan intellektual. Pada aspek lainnya lagi, penulis kreatif ini menyadari bahwa ada permasalahan tentang kesulitan ekonomi kalangan tertentu untuk mengecap pendidikan. Hal ini menjadikan masalah yang menimbulkan perasaan nelangsa dan sedih, akibat simpatinya yang dalam terhadap golongan masyarakat kecil yang tersisihkan dan kesulitan untuk meraih pendidikan. Andrea Hirata berontak terhadap keadaan ini. Sastra memfasilitasi pemberontakan yang menggelegak dalam jiwanya. Namun, pemberontakannya terhadap keadaan yang menjepit kaum papa yang nelangsa untuk memperoleh pedidikan tak tercapai. Tetap saja ada pengabaian terhadap dukungan untuk memajukan pendidikan dari penguasa. Syukurnya Anis Baswedan bersama anak-anak bangsa yang mau turun ke pelosok seluruh tanah air menggalakkan gerakan “Indonesia Mengajar”.

Kembali ke persoalan tadi, bagaimana dengan Andrea Hirata? Ia mengalami nostalgia yang menimbulkan perasaan sedih dan syahdu karena cintanya terhadap sesama. Maka, jadilah karya-karya prosanya dalam bentuk novel tetralogi Laskar Pelangi.

Di lain tempat juga ada pemberontakan terhadap keadaan yang menyesengsarakan dan menimbulkan penderitaan bagi orang-orang kecil. Pada masa pengasingannya di Italia, Maxim Gorky berontak terhadap kemiskinan yang merajam kaum nelayan di teluk Naples. Melalui karya yang beraliran Realisme Sosialis dalam kumpulan cerpen Hikayat dari Italia, Gorky menyuarakan betapa pedihnya kehidupan kaum nelayan di sana, sekalipun mereka bekerja keras dengan susah payah, menurut Gorky perjuangan mereka tak lebih dari sekedar memendam penderitaan jauh ke dasar jiwa dalam mulut terkunci rapat. Sebab, kuku runcing kemiskinan tetap saja mencabik-cabik rakyat kecil yang sebagian besar adalah para buruh nelayan.

“Kadang-kadang orang mengerti bahwa ada sesuatu yang lebih baik tidak dikatakan.” (dalam cerpen berjudul Monster)

Sastra sebagai media penyampai persoalan mendasar kehidupan yang dapat menimbulkan rasa sakit, tetapi juga rasa syahdu. Pengarang sastra mencoba menyuarakan hal ini. Namun, tiba-tiba sastra juga menyajikan perasaan senang luarbiasa akibat sugesti penggambaran suasana yang menggembirakan. Bahkan, sastra juga seringkali menimbulkan perasaan takjub ketika karya sastra mengilustrasikan “orang-orang yang baik luar biasa”, yang mungkin sangat mustahil ditemukan dalam kenyataan faktual sebenarnya hingga pembacanya akan berseru:

“Wah, kok bisa berbudi dan baik sekali?! Kayaknya hampir tak ada lagi orang yang terlampau baik seperti yang digambarkan cerita ini.”

Dari gambaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa semakin universal nilai kehidupan yang disuarakan sebuah karya sastra, maka semakin lepas ketergantungan karya sastra dengan bahan mentahnya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun