Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosiologi Pekuburan Untoroloyo Solo

11 September 2017   10:59 Diperbarui: 11 September 2017   21:38 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut pekuburan Untoroloyo, Solo (Dokpri)

Saat berziarah ke pekuburan umum Untoroloyo, Mojosongo, Jebres Solo, 5 Agustus 2017 lalu, saya tertarik pada sekelompok orang yang awalnya duduk-duduk santai di bawah naungan kamboja.

Begitu saya dan anggota keluarga turun dari mobil, mereka langsung menghambur datang menghampiri. "Ke makam siapa, Mas?" tanya  seorang lelaki paruh baya, belakangan saya tahu namanya Pak Agus.

"Keluarga Kebalen," sahut ipar saya sekenanya. Dengan cepat Pak Agus menuntun kami ke sekelompok makam. Dengan fasih dia menjelaskan makam siapa saja itu, apa hubungan keluarga antar mendiang, kapan meninggalnya, dan apa penyebab berpulangnya.  Sungguh menakjubkan pengetahuannya.

Begitu kami mendatangi satu makam, maka sekelompok ibu-ibu langsung datang dan menyapu bersih kuburan dari dedaunan kering. Sekaligus mencabuti rerumputan yang tumbuh di sekelilingnya.

Makam di Untoroloyo umumnya dikijing, diberi rumahan batu atau beton. Karena itu rerumputan hanya mungkin tumbuh di sekelilingnya. Ini beda dengan pekuburan di Jakarta. Di Jakarta, misalnya Kampung Kandang, kuburan  tidak boleh dikijing, hanya boleh digulud dan ditanami rumput jepang.

Setiap kami beringsut pindah ziarah ke makam lain, maka ibu-ibu tadi langsung mengikuti dan membersihkan makam yang kami datangi. Kejadian seperti itu berulang pada empat unit makam.  Saya kira pasti bisa lebih, kalau kami mengikuti panduan Pak Agus yang fasih menunjukkan makam dan hubungan kerabat dengan mendiang di bawahnya.

Seusai ziarah, ketika akan beranjak pulang, Pak Agus dan kelompok ibu-ibu tadi mengelilingi kami minta disawer ala kadarnya. Sepupu saya, yang tinggal di Solo,  rupanya sudah paham soal ini, sehingga di kantongnya dia sudah  menyiapjan segepok lembar rupiah Rp 2,000-an. Masing-masing ibu tadi mendapat Rp 2,000.

Tapi tentu saja mereka tidak puas. Minta ditambah lagi. Maka masing-masing diberi lagi Rp 2,000. Tidak puas dengan itu, mereka juga minta pada saya. Maka saya harus mengorek habis uang Rp 2,000-an  dari dompet, yang sayangnya tidak banyak.

Di antara anggota kelompok itu, Pak Agus lah yang menerima paling banyak. Dia mendapat Rp 20,000 dari sepupu saya. Masih merapat juga ke saya, sehingga uang Rp 10,000 di dompetku pindah pula ke dompetnya.

Pak Agus menerima paling banyak karena dia adalah pemimpin kelompok perawat makam itu. Dia dan ibu-ibu dalam kelompoknya adalah warga kampung Debegan, berbatasan dengan pekuburan Untoroloyo itu.

Rupanya pekerjaan merawat makam itu merupakan pekerjaan turun temurun.  Posisi sebagai pimpinan informal kelompok itu diwarisi Pak Agus dari almarhum ayahnya. Dialah yang mengatur siapa saja yang boleh menjadi anggota kelompoknya. Juga mengatur pembagian rejeki. Sebab sering kali peziarah tidak mau repot melayani satu per satu para perawat makam. Sejumlah uang diserahjan ke Pak Agus, dan tugasnyalah untuk membagi secara adil kepada anggota kelompoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun