Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indomieisasi, Gejala Mentalitas "Langsung Enak"

18 Agustus 2017   11:53 Diperbarui: 18 Agustus 2017   22:37 3313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika mendiskusikan rintangan-rintangan mental dalam pembangunan, Koentjaraningrat (1969) menyebut antara lain mentalitas menerabas. Maksudnya, ambil jalan pintas, menabrak prosedur dan memotong proses yang sewajarnya.

Ambil contoh-contoh berikut. Mau dapat nilai ujian bagus, nyontek. Mau jadi PNS, sogok pejabat rekrutmen. Mau naik jabatan, sogok lagi atasan. Mau cepat kaya, korupsi, atau cari dukun pelipat-ganda uang, atau nikah dengan orang kaya. Mau dapat barang bermerk, jual diri pada Om Senang atau Tante Girang. Mau cepat tenar, posting ujaran atau pose kontroversial di medsos. Mau cepat masuk "surga", jadilah teroris. Semua menabrak norma, tata-laku dan adat atau hukum.

Dengan istilah pasaran, gejala mentalitas menerabas semacam itu bisa disebut mentalitas "langsung enak". Tidak perlu ikut aturan, prosedur dan proses yang sewajarnya, terabas saja semua, maka hasilnya "langsung enak". Secara keseluruhan, ini disebut "instan", seketika jadi kenyataan.

Di bidang konsumsi makanan, mentalitas "langsung enak" atau "instan" itu sudah sejak lama direspon oleh industri makanan dengan produk mie instan. Salah satu brand produk yang tergolong paling tua dan mendunia adalah "Indomie". Kurang lebih, popularitas Indomie itu bisalah dibandingkan dengan McDonald. Karena itu, sebagai padanan lokal untuk konsep McDonaldisasi-nya G. Ritzer (1993), dengan segala hormat kepada produsen Indomie, izinkan saya menggunakan istilah "Indomieisasi".

Jika Ritzer menggunakan konsep McDonaldisasi untuk menerangkan gejala budaya "cepat saji" yang efisien, pasti, dan seragam dalam masyarakat dunia, saya hendak menggunakan konsep "Indomieisasi" untuk menerangkan gejala mentalitas instan atau "langsung enak" pada masyarakat Indonesia.

Produk mie instan Indomie itu sangat kompatibel dengan mentalitas "langsung enak", serba seketika, yang menjadi karakter laten masyarakat kita. Begitu ada kesempatan, karakter itu langsung manifes, selayaknya perilaku orang makan semangkok Indomie. Cukup dengan modal air panas, masukkan Indomie dan bumbunya, tunggu 5 menit, lalu nikmati, dan "langsung enak". Tidak perlu repot ke kedai bakmi untuk menikmati semangkok mie rebus. Atau, tak perlu repot belanja mie kering dan bumbu-bumbu, meracik bumbu dan memasak mienya, sebelum kemudian menikmatinya sambil berkeringat. Indomie adalah solusi jitu "langsung enak", tanpa peduli risiko yang mungkin timbul kelak.

Itulah gejala "langsung enak" yang meresap ke perilaku makan masyarakat luas. Sehingga jargon "Indonesia Tanah Airku, Indomie Seleraku" mendapatkan pembenarannya. Terbukti, tidak pernah ada keberatan dari publik atas klaim pada jargon itu.

Jika gejala Indomieisasi itu sebatas perilaku makan, mungkin dampaknya tidak fatal untuk masyarakat dan bangsa, sejauh kandungan makanan itu halal dan aman. Misalnya, tidak mengandung unsur yang diharamkan oleh agama atau berdampak negatif bagi kesehatan. Banyak makan Indomie atau mie instan tentu akan menguntungkan perusahaan produsennya, walau mungkin tidak bagus untuk status gizi konsumen.

Tapi ketika Indomieisasi dalam pengertian mentalitas "langsung enak" itu memasuki ranah kehidupan sosial, ekonomi, dan politik maka masalah besar telah menimpa masyarkat dan bangsa ini. Contoh-contoh tersebut di muka secara acak dapat menunjukkan kerusakan yang terjadi di bidang sosial, ekonomi, dan politik karena mentalitas "langsung enak" itu.

Di bidang sosial, gejala Indomieisasi yang paling parah adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN itu jelas jalur terabas untuk langsung enak. Mau cepat kaya, sikat uang rakyat (korupsi). Mau dapat proyek, sekongkol dengan pejabat (kolusi). Mau keluarga besar jaya, angkat kerabat sendiri jadi pegawai atau karyawan (nepotisme). Semua tindakan itu menabrak norma, peraturan perundangan, untuk dengan cepat tiba pada kondisi "langsung enak".

Di bidang ekonomi, gejala Indomieisasi yang menonjol adalah "klientisme" yang melahirkan pengusaha-pengusaha klien penguasa. Richard Robison (1986) menyebutnya sebagai "client capitalism", atau kurang lebih sepadan dengan"ersatz capitalism" (kapitalisme semu) menurut Yoshihara Kunio 1988). Istilah-istilah itu menunjuk pada pertumbuhan kapitalis di Indonesia sebagai "rumah di atas pasir" yang langsung porak-poranda begitu diterjang "ombak" semisal terpaan rezim perdagangan bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun