Mohon tunggu...
Muji Astuti
Muji Astuti Mohon Tunggu... -

Menulis merupakan aktivitas menarik perhatian saya sejak SD. Sekian lama tidak dikembangkan muncul keinginan untuk menulis buku sesuai kemampuan dan pengalaman, terlebih setelah saya berhasil merampungkan tesis tepat waktu di MM UI.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Catatan Perjalanan Haji 2008

14 September 2012   01:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:30 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Panggilan itu datang di tahun 2008….

Takdirullah, hanya itu yang bisa terucapkan saat panggilan itu datang. Tiada kata selain syukur atas nikmat yang tiada terkira. Panggilan ke baitulllah yang semestinya pada tahun 2009, ternyata dimajukan karena imbas SK gubernur Jawa Barat. Dalam waktu yang tidak terlampau panjang, segala persiapan harus segera dilakukan. Persiapan dana untuk pelunasan dan perbekalan menjadi fokus pertama.. Persiapan ilmu tak kalah penting, secara umum pengetahuan tentang haji yang dimiliki amat kurang memadai sehingga dibutuhkan pembekalan ilmu secara simultan baik melalui program manasik yang ada maupun membaca buku, artikel atau bertanya pada sumber yang terpercaya hatta kita sudah sampai di tanah suci. Persiapan fisik menjadi fokus kami berikutnya, mengingat ibadah haji adalah ibadah fisik. Program jalan pagi menjadi sebuah keniscayaan meskipun ada sedikit insiden yang mengharuskan suami beistirahat cukup panjang. Persiapan perbekalan, fokus pada apa yang kami bawa mengacu pada daftar bawaan yang kami miliki dan pengalaman beberapa teman. Persiapan keluarga yang ditingggalkan, memutuskan kepada suapa kami menitipkan anak, serta perbekalan yang ditinggalkan. Sungguh, segalanya menyita pikiran, perasaan, waktu, tenaga dan biaya. Mudah-mudahan beningnya niyat kita, membuat perjalanan ke tanah suci berbekas indah nanti.....

Prosedur itu, bisakah lebih sederhana........

Memutuskan mengambil program haji mandiri, tidak berafiliasi pada satu yayasan atau kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) tentu memiliki imbas tersendiri. Minimal, seluruh urusan kita tangani sendiri. Urusan pertama, pendaftaran dan pelunasan yang dilakukan di bank. Saat pertama mendaftar, sepanjang ingatan harus menempuh prosedur bank-depag-bank-depag untuk mendapatkan nomor porsi. Demikian pun pada saat pelunasan. Cek kesehatan pertama di puskesmas, kedua di rumah sakit, semuanya menempuh prosedur yang cukup panjang. Entahlah, konon orang Indonesia memang lebih memilih prosedur yang tidak sederhana, mungkin karena keterbatasan sistem, adanya berbagai kepentingan, atau memang belum ditemukan prosedur yang lebih taktis dan simpel. Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?. Ternyata ujian-ujian perjalanan haji memang sudah ada dari tanah air....

Calo kloter itu ternyata memang ada

Ini benar-benar kisah nyata, dimana lagi-lagi ada oknum yang menawarkan kloter keberangkatan. Rombongan haji mandiri kami juga mengalami tragedi pemindahan kloter hampir tiga kali hingga menjelang palu fiksasi pengesahan kloter. Sebelum sampai di tanah suci tentu kami yang baru pernah berangkat tak paham kenapa kloter seolah menjadi bahan rebutan atau pilihan. Akan lebih baik bilamana pembagian kloter diundi secara terbuka, seperti pembagian grup dalam pertandingan sepakbola piala dunia, dengan sistem tersebut akan terhindarlah pemesanan kloter oleh kbih atau siapa pun seperti terjadi selama ini.

KBIH itu siapa?

Ada keanehan pada orang yang mendengar jamaah haji mandiri, seolah menunaikan ibadah haji memang harus melalui KBIH. Merunut fungsi asal, seharusnya pembinaan calon jamaah haji sepenuhnya dilakukan oleh depag. Kurangnya edukasi terhadap calon jamaah haji selama ini memang membuat sebagian calon jamaah kurang merasa pede jika tidak didampingi ustadz atau kyai. Belum lagi kemudahan-kemudahan yang memang dijamin kalau calon jamaah bergabung dengan KBIH terkait dengan pengurusan berkas, cek kesehatan, pelaksanaan prosesi haji, dsb. Bilamana KBIH berkomitmen dengan pelayanan dan pembinaan terhadap jamaah, ittiba' terhadap manasik Rasulullah SAW serta menjauhkan diri dari sikap ashobiyah, praktek lain seperti pemesanan kloter, tempat tinggal dan semacamnya tentu akan sangat membawa maslahat tidak hanya bagi jamaah KBIH yang bersangkutan.

Berpisah dengan keluarga dan tanah air….

Hal terberat sebelum keberangkatan adalah berpisah dengan anak, keluarga dan tanah air. Berderet manusia melambaikan tangan menambah keharuan tak terkirakan. Seolah takkan kembali dan seakan memandang terakhir kali…. Berurai air mata jamaah haji melambaikan tangan pada para pengantar.



Kejadian di pesawat....

Seharusnya manasik haji memang dilengkapi dengan banyak informasi yang berkaitan dengan ibadah, muamalah maupun etika dan adab yang harus dikedepankan oleh jamaah. Apa yang dilakukan di pemondokan, di masjidil haram, di pesawat dan hal-hal terkait prosesi haji dan umroh harus dijelaskan dan dijabarkan secara tuntas. Bagaimana berwudhu di pesawat, menggunakan toilet pesawat, mnggunakan sabuk pengaman, dll adalah bagian penting tak terpisahkan yang sudah harus dipahami oleh jamaah sebelum mereka berangkat. Seharusnya tidak didapati keluhan bahwa jamaah Indonesia jorok di pesawat, tidak memahami informasi awak kabin seperti menurunkan bagasi jauh sebelum pendaratan, membuang sampah di bawah tempat duduk dsb. Penggunaan lift di pemondokan, aktivitas mencuci dan mandi juga tak kalah penting. Jamaah Indonesia dikatakan seperti ikan karena paling gemar mencuci dan menggunakan air, belum lagi etika menjemur yang terkadang tidak diperhatikan. Bilamana hal ini tidak menjadi perhatian dari penyelenggara haji niscaya kejadian yang sama akan terjadi berulang-ulang setiap tahun, dan jangan salahkan bilamana jamaah haji Indonesia kemudian distempel jorok dan kurang berpendidikan. Atau mungkin rasa malu itu sudah tidak ada.......

Pemondokan yang jauh......

Keinginan jamaah untuk dekat dengan masjidil haram dan nyaman beribadah adalah keinginan yang wajar, toh ONH juga naik cukup tajam. Pemondokan yang jauh berimbas ke banyak hal, yang terutama dan paling utama tentu saja tidak optimalnya jamaah dalah beribadah ke masjidil haram. Kurang memungkinkan secara fisik tentu saja bilamana harus berdiam di masjidil haram setiap hari sementara rumah tinggal jauh. Hal itu juga masih diperburuk dengan penyediaan dan pengaturan sarana transportasi yang tidak memadai. Imbas lain adalah sulitnya mencari makanan, sehingga jamaah harus begitu repot memasak dan berbelanja. Jauh dari masjidil haram dengan transportasi kurang memadai ditambah kesibukan mencari makanan benar-benar kombinasi yang luar biasa. Di sisi lain terlihat pemandangan jamaah haji dari Malaysia yang membayar lebih murah mendapatkan fasilitas pemondokan beserta katering yang begitu representatif, begitupun jamaah Myanmar, Bangladesh, Brunei bahkan Afrika yang notabene jauh lebih sedikit dari Indonesia mendapatkan jaminan tempat tinggal yang lebih dekat dari Al Haram. Apa yang dikatakan bangsa lain tentang Indonesia? Negara dengan jamaah haji terbesar tidak mampu menyediakan akses tinggal yang mudah untuk kenyamanan ibadah jamaahnya? Apakah pemerintah dalam hal ini Depag tidak memahami bahwasanya harga diri bangsa begitu dipertaruhkan dengan keputusan semacam ini?

Transportasi .......

Keputusan pemondokan jauh dari Al Haram menyebabkan pemerintah harus menyediakan angkutan. Terjadwal, dengan rute yang sudah ditentukan dan konon jumlahnya sangat memadai. Kenyataan di lapangan sungguh sangat memilukan perasaan. Saat keluar dar Al Haram, pemandangan pun tidak lepas dari jamaah yang berebut bis menuju pool tujuan di Kudai Park. Entah karena tidak bisa memanajatau faktor lain sehingga jumlah jamaah yang menunggu jauh lebih banyak dari jumlah kendaraan yang ada. Bayangkanlah beribu orang menunggu di terowongan sedangkan bis datang satu demi satu. Satu hal jamaah menjadi kurang tertib dan tidak dapat membudayakan mengantri, namun dalam kondisi lelah dan ingin beristirahat di pemondokan yang jauh jamaah juga tidak bisa menghindari dari kondisi tersebut. Setiap saat terjadi pertengkaran antar jamaah. Yang lebih mengesalkan jamaah adalah kenyataan bahwasanya jumlah bis yang menunggu di terminal begitu banyak. Sekali lagi, mungkin Indonesia menjadi bahan tertawaan bangsa lain, karena pada saat yang sama berderet bis menunggu jamaah India yang tidak begitu banyak, serta hilir mudik bis pengangkut jamaah Turki yang dengan begitu rapi mereka menaiki dan turun dari bis, sedangkan pemondokan mereka tidak terlampau jauh. Ironi ….betapa harga diri bangsa ini sekali lagi dipertaruhkan…….

Berlomba mengkhatamkan Al Qur'an…

Satu hal yang membahagiakan di kelompok kami adalah semangat ibadah yang cukup tinggi dari para jamaah. Senantiasa selalu ada yang ke masjidil haram secara bergiliran, saling membangunkan untuk menunaikan shalat malam, berdiskusi tentang ibadah dan muamalah. Dan satu hal lagi semangat untuk mengkhatamkan Al Qur'an bahkan sampai menjelang kepulangan…….

Keputusan mabit di Mina pada hari tarwiyah….

Banyak hal yang terlewatkan bilamana kita tidak banyak membaca, bertanya atau berdiskusi. Pemerintah dengan pertimbangannya sendiri memutuskan tidak mabit di Mina pada hari Tarwiyah, padahal di manasik haji kita pahami urutan ibadah haji sesuai contoh Rasulullah diawali dengan mabit di Mina pada 8 Dzulhijah. Bersama rombongan An Nidzriyah kloter 17 JKS akhirnya bersama 3 orang teman lain dalam satu rombongan kami berangkat ke Mina melalui Aziziyah. Bertemu teman sekaligus tetangga serta bergabung dengan beberapa rombongan lain kami menginap di maktab 35. Rencana awal perjalanan ke Arafah ba'da subuh akan kami tempuh dengan berjalan kaki. Ya Allah, kami hanya ingin ittiba' dengan sunah Rasulullah, untuk itu mudahkanlah perjalanan kami dan berilah kami kekuatan........tanpa disangka maktab tempat kami menginap menyediakan bis.....perjalanan begitu lancar, sehingga pagi itu pula kami sudah berada di Arafah.

Wukuf di Arafah....

Wukuf di Arafah adalah tempat bermuhasabah, memohon ampunan......

Perjalanan ke Muzdalifah........

Setelah tenggelamnya matahari kami memulai perjalanan ke Muzdalifah dengan berjalan kaki. Begitu banyak jamaah dan jalanan begitu padat, tak terbayang bagaimana perjalanan para sahabat pada masa lalu yang mungkin harus menempuh jalan berbukit berbatu. Sekurangnya 4 jam waktu yang diperlukan hingga kami mencapai Muzdalifah, berinteraksi dengan saudara seiman dari negara lain, bersabar dalam padatnya kerumunan, hingga beristirahat di jalanan sebelah masjid Masy'aril Haram. Kami hanya ingin ittiba' dengan manasik Rasul-Mu ya Allah, mudah-mudahan Engkau ridha terhadap upaya kami sehingga lelah dan penat kami bukanlah kesiaan........

Inti ibadah haji adalah totalitas penghambaan, kesungguhan dan keberserahan....

Perjalanan dari Muzdalifah – Mina – Mekah dan sebaliknya di hari nahar bukan sesuatu yang ringan. Diperlukan kekuatan niyat dan mujahadah untuk mengalahkan rasa letih, penat dan sakit. Sungguh ibadah haji tidak banyak menggunakan porsi logika, sehingga mengikuti manasik Rasulullah dengan perasaan penghambaan yang kuat sembari bertawakkal, memohon kekuatan dan kemudahan mutlak dilakukan. Ada keharuan atas setiap kemudahan yang diberikan. Ada rasa syukur atas tertunaikannya manasik. Ibadah haji adalah ibadah fisik, akan lebih optimal bilamana dilakukan di usia yang relatif muda ditambah persiapan-persiapan yang memadai. Mudah-mudahan Engkau mengampuni kaum muslimin bilamana dalam menunaikan ibadah haji ini ada keterbatasan fisik danpemahaman........

Dapat dipahami mengapa sebagian jamaah memilih nafar awal........

Mabit di Mina untuk menunaikan lempar jumroh. Jarak yang jauh antara tenda dan jamarat, kondisi sanitasi dengan jumlah toilet yang terbatas, berbaur satu rombongan dalam satu tenda membuat sebagian jamaah merasa tidak nyaman bahkan stress. Menggerutu ketika mengantri toilet, mencuci baju dan menjemurnya tak beraturan, berbelanja di jalanan menjadi pemandangan tak terhindarkan. Wukuf yang baru dijalani seakan kurang membekas dalam. Padahal kalau saja jamaah memahami waktu yang tersedia begitu banyak tentu saja dapat dioptimalkan untuk memperbanyak dzikrullah, tilawatul Qur'an dan memulihkan fisik. Mungkin itulah yang membuat banyak KBIH memutuskan memilih nafar awal daripada nafar tsani, entah ketika jaman Rasulullah mungkin pilihan nafar awal didasarkan pada kondisi-kondisi syar'i dengan alasan yang kuat, karena tersedia kebaikan yang banyak bagi yang memilih nafar tsani.

Di slaughterhouse.......

Hadyu atau dam tamattu' kami ulang setelah berdiskusi dengan beberapa ustadz. Pemotongan sebelum 10 Dzulhijah kami anggap shadaqah. Setelah mencari tempat pembayaran hingga ke Aziziyah dengan hasil nihil , akhirnya kami putuskan pergi ke slaughterhouse. Penanganan yang profesional dan kelembutan ditunjukan pada saat pemotongan hewan, dan itu jauh berbeda dengan tempat pemotongan pertama, membuat kami merasa tentram. Ya Allah, kami hanya ingin menyempurnakan ibadah kami...... Hadyu adalah sesuatu yang tercecer saat manasik, dan penyelenggara haji dirasakan kurang menaruh perhatian terhadap masalah ini. Banyaknya pemotongan sebelum 10 Dzulhijah tidak mungkin tidak diketahui Depag, namun mengapa praktek ini dibiarkan bila dalil pendukungnya tidak begitu banyak? Bagaimana tanggung jawab Depag terhadap keberlangsungan ibadah haji para jamaah?

Rupa-rupa manusia di baitullah......

Jamaah haji mencerminkan ummat Islam saat ini. Berjuta manusia hadir di baitullah dengan berbagai rupa. Air mata saat memandang baitullah pun beraneka makna. Sebagian orang mungkin datang dengan penuh penghambaan, penuh penghayatan dalam setiap ibadah yang dilakukan, penuh kasih terhadap saudara seiman dengan berbagi shaf, membantu mengambilkan air zamzam atau yang lain, berkomitmen terhadap manasik yang dicontohkan Rasulullah tanpa memilah mana yang wajib dan mana yang sunah. Sebagian mungkin menjalani ibadah karena mengejar pahala yang besar, sehingga ada perhitungan-perhitungan yang dilakukan, memilah mana yang rukun, wajib serta sunah, kurang memahami aspek persaudaraan yang tak kalah penting dalam ibadah haji itu sendiri. Yang mengelap ka'bah, memeluk dan menagisi maqam ibrahim, shalat di gua hiro, di jabal nur, shalat sunat rawatibnya keliru serta melakukan hal lain yang tidak disyariatkan jumlahnya banyak. Demikian juga yang menutup aurat kurang sempurna. Konon pencopet juga ada di baitullah. Satu yang tak tertinggal, calo hajar aswad yang rata-rata didominasi etnis tertentu dari Indonesia. Seandainya jamaah haji adalah orang-orang terpilih yang berorientasi lurus dalam menghamba pada-Mu ya Allah, mungkin perubahan sangat besar dirasakan kaum muslimin di seluruh dunia.......

Mereka begitu bersahaja.......

Jamaah haji backpecker, dengan penampilan sederhana, tidur di tempat-tempat terbuka begitu banyak. Makan beralaskan plastik, beristirahat di bawah atap langit. Tak risau soal makanan, karena chariti dan donasi bertebaran sepanjang jalan. Tak harus tidur dalam pemondokan atau tenda, karena jalanan serta masjid adalah tempat nyaman melepas penat. Sungguh mengagumkan, dan mungkin merekalah yang Allah sebut lebih disukai karena kesahajaan dalam penampilan.

Ziyarah, napak tilas perjalanan Rasulullah.....

Memandang tingginya jabal Tsur, membuat kita merenung betapa perjalanan hijrah Rasulullah yang ditemani Abu Bakar As Shidiq bukan sesuatu yang mudah. Terbayang pula bagaimana Asma binti Abu Bakar dalam kondisi hamil menjadi pensuplai logistik saat itu. Mendaki jabal Nur dan mencapai mulut gua Hiro juga perjalanan yang tidak gampang. Gua yang menghadap Al Haram tersebut tidak besar. Mengunjungi Uhud, Khandak, masjid Quba, masjid Qiblatain, jabal Rahmah, Hudaibiyah seharusnya bukan semata ziyarah. Beratnya perjalanan Rasulullah dan para shahabat dalam mendakwahkan Islam sungguh menempuh tribulasi alam dan manusia dalam kurun yang cukup panjang. Lantas, apa yang akan kita persembahkan untuk eksistensi Islam?

Pengalaman dengan orang Turkiye....

Berkenalan dengan saudara seiman dari berbagai bangsa adalah pengalaman tak terlupakan. Orang Pakistan terlihat cukup baik pendidikannya, mereka ramah dan penguasaan bahasa Inggrisnya cukup baik. Sister dari Bosnia, Manchaster, India, Maghribi, Suriah juga welcome. Afrika sesekali juga berinteraksi, dan surprisenya bahasa Inggris mereka cukup baik. Yang paling berkesan adalah orang Turki. Jamaah mereka terbesar kedua setelah Indonesia, berseragam, dinamis meskipun rata-rata midle-aged, rapi dan terorganisasi. Sungguhbangsa yang pantas memimpin kekhalifahan (dimasa lalu). Secara pribadi mereka begitu perhatian (setidaknya perasaan saya). Saat thawaf di baitullah dalam keadaan batuk cukup hebat, dengan penuh perhatian mereka menatap saya seolah bertanya kenapa, saya jelaskan dalam bahasa Inggris tidak mengapa hanya batuk saja. Kejadian saat thawaf wada juga serupa, keharuan tak tertahankan menyebabkan air mata tak terbendung. Penuh perhatian mereka menatap, saya hanya menggeleng, tak mampu menjelaskan dengan kata-kata. Kejadian di masjid Nabawi sebanyak dua kali orang Turki meminta disimak bacaan Qur'annya dan mengakatakan dengan bahasa mereka kalau bacaan saya bagus, kemudian mereka mendoakan saya. Satu lagi adalah saat Miss Keziban memberikan bekalnya untuk saya. Banyak pengalaman lain yang tidak bisa diceritakan. Betapa hangat mereka, kalau saja TKI dikirim ke Turki apakah pandangan mereka terhadap Indonesia masih sama……

Al Haram yang tertutupi megahnya hotel berbintang.......

Berderet hotel megah seolah mengepung Al Haram dari segenap penjuru. Tingginya hotel yang mncapai kaki langit seolah didisain untuk memudahkan jamaah dalam memandang ka'bah dari dalam kamar. Seandainya saja Al Haram seperti masjid At Tien di Indonesia, berada di pinggiran jalan besar dengan halaman dan area parkir yang amat luas. Keagungannya dipandang dari segenap penjuru oleh setiap orang.

Sigapnya petugas kebersihan di Al Haram....

Banyak hal menakjubkan dan mengagumkan di Al Haram, yang mungkin terlewat dari para jamaah adalah kesigapan para petugas kebersihan. Diantara berjuta manusia bahkan di area thawaf yang tak pernah sepi sekalipun petugas kebersihan begitu terampil, tangkas dan bekerja tak kenal lelah. Pengorganisasian yang rapi, pembagian shift yang terjadwal, penentuan waktu yang tepat dan tak kalah menarik adalah cairan pembersih dengan aroma harum menentramkan yang cepat sekali keringnya. Menjaga Al Haram agar senantiasa bersih dan terbebas dari najis demi kenyamanan jamaah adalah bentuk ibadah yang tak kalah penting......

Undangan dari Iran

Seorang brother dari Iran tiba-tiba mengundang kami makan siang. Setelah melewati perjalanan yang agak sulit karena terbatasnya kendaraan kami pun sampai di hotel mereka. Tak ada yang istimewa dalam makan siang tersebut kecuali makanan yang tidak familiar dengan lidah kami. Bertemu dan berdiskusi panjang dengan seorang syaikh berbahasa Indonesia tentu saja bukan sebuah kebetulan, apatah lagi pada saat yang sama beberapa orang Indonesia juga berada disana.

Taksi 2 riyal......

Alternatif susah mendapatkan bis adalah menggunakan taksi. Menjelang subuh kami lebih sering menggunakan taksi untuk menghemat waktu. Yang dimaksud taksi disana lebih mirip taksi gelap di Indonesi, tanpa argo, mobil pribadi dan tentu saja tawar menawar harga. Tarif umumnya dua riyal per orang. Tarif ini akan naik tajam saat haji. 5, 40 bahkan mencapai 100 riyal. Tidak di Indonesia, tidak di Arab, orang memang biasa memanfaatkan kesempatan. Harga naik bila demand naik, begitu teori ekonominya. Cerita tentang sopir taksi adalah episode yang lain. Konon watak orang supir taksi memang tidak bisa ditebak. Kadang-kadang pura-pura tidak tahu jalan, berputar-putar, namunbegitu turun dari taksi dia sampaikan kalau dia tinggal di daerah yang sama dengan pemondokan kita. Minta tips tambahan? Beranilah melawan dan mengatakan tidak.

Lagi-lagi tentang supir……

Kebiasaan supir dimana-mana sama. Sudah digaji masih minta tips tambahan dari penumpang. Kisah ini terjadi ketika ziyarah resmi yang diadakan Depag. Sang supir menetapkan tips tambahan tiap jamaah sebanyak 2 riyal. Namun rombongan jamaah haji mandiri kami secara tegas menolak dan sekadarnya saja memberikan shadaqah. Setelah dihitung dan tidak sesuai jumlah jamaah sang supir mengomel. Ketua rombongan kami menggertak sang supir dengan menunjukkan tulisan no tips. Rupanya kasusnya memanjang. Salah seorang ketua regu kami menelpon ketua kloter yang langsung dismbungkan pada petugas berwenang. Apa yang terjadi? Bos perusahaan transport tersebut langsung turun tangan meminta maaf dan menegur supir yang bersangkutan. Mungkin ada ketakutan bahwasanya kontrak tidak akan diperpanjang. Sang supir pun ketakutan. Rupanya bila kita mau sedikit berani mereka juga tak berlaku kurang sopan. Selama ini sering terjadi supir-supir meminta tips dan jamaah hanya mengiyakan, mungkin takut, tidak enak atau memang dianggap wajar.

Tentang makanan.......

Makanan Indonesia sungguh penuh citarasa. Yang paling dirindukan jamaah Indonesia selain keluarga mereka mungkin makanannya. Sekalipun ada pedagang makanan Indonesia, penampilan dan rasa jauh berbeda. Sayur asem tanpa kacang dan melinjo, goreng pisang yang lebih banyak tepungnya, telur rebus yang sambalnya aneh, itu hanya beberapa contoh. Makanan lain yang biasa dinikmati adalah nasi briyani India yang diberi kare. Sekali-kali KFC bisa jadi alternatif. Atau sedikit lebih favorit, kebab Turki. Semuanya dinikmati sebagai bagian dari perjalanan ibadah.

Madinah yang damai dan bersahaja…….

Memasuki Madinah dan masjid nabawi adalah episode berikutnya dari perjalanan kami. Penataan masjid nabawi tampak lebih rapi, hotel-hotel tampaknya dibatasi agar tidak lebih tinggi dari menara masjid nabawi. Jamaah perempuan pun dipisah dari laki-laki, sesuatu yang tidak didapati di masjidil haram. Damai, tenang dan lembut. Inilah kota nabi. Mengantri ke raudhah, mengucapkan salam untuk Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, mengucapkan salam untuk ahli Baqi, syuhada Uhud, semuanya memberikan bekas yang dalam.

Orang tua itu, ternyata ibunya para aktivis......

Berbagi empati, begitulah yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji serta diharapkan jamaah haji yang lain. Keterbatasan, memang sedikit banyak menjadi hambatan dalam ibadah fisik ini. Mobilitas yang tinggi di tengah jutaan kerumunan manusiasetidaknya menuntut para jamaah untuk menyiapkan fisik yang prima. Kehadiran ibu tua bertongkat seorang diri, tanpa mahram/saudara satu sisi menjadi ladang amal. Pun ketulusan seorang bapak muda yang senantiasa menemani dan mengulurkan bantuan bagi kesempurnaan ibadah sang ibu tua, adalah refleksi peneguhan haji sebagai ibadah berdimensi hablun minan naas. Seyogyanya pula mengukur kemampuan diri dan tidak bergantung sepenuhnya pada orang lain ditanamkan pada masing-masing jamaah karena pada saat yang sama "para penolong" juga tengah berkonsentrasi mengejar keutamaan pada dimensi hablun minallah. Maka tidak ada salahnya menggunakan kursi roda ketika thawaf, sa'i atau saat lain dimana fisik cukup terforsir apatah lagi tersedia cukup dana. Yang agak disesalkan para jamaah sebetulnya adalah sikap "tak acuh" keluarganya yang konon adalah orang-orang sukses. Tak ada "penitipan" atau "pemasrahan" terhadap ketua rombongan, tak ada telpon kepada "sang penolong" untuk sekedar mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah diberikan. Yang lebih mengherankan, konon anak-anaknya adalah para aktivis dari sebuah organisasi dakwah terkemuka…….

TKI…..

Tak sulit menjumpai orang Indonesia yang bekerja di Saudi. Pembantu flat kami juga orang Indonesia. Supir, petugas kebersihan di masjidil Haram dan masjid Nabawi, pegawai toko di pasar begitu mudah dijumpai. Pada tahun 80-an, konon Indonesia begitu disegani di Saudi Arabia karena terkenal dengan ulama dan suyukhnya. Setelah ekspor tenaga kerja, orang Indonesia menjadi kurang dihargai. Sama dengan di Malaysia dan Brunei. Dalam beberapa interaksi sikap merendahkan seolah ditunjukkan oleh mereka. Di satu sisi pendidikan di dalam negeri juga tidak kunjung menemukan bentuk keberpihakan kepada rakyat banyak. Konversi sekolah menengah umum dalam bentuk SBI, mahalnya biaya kuliah dan kegagalan UAN dibeberapa daerah hanya akan menelorkan banyaknya tenaga tidak terdidik dan tidak terampil dan pada gilirannya menjadi TKI adalah pilihan termudah. Kalau saja pemerintah memikirkan bangsa dan harga diri bangsa, mungkin pendidikan akan digratiskan hingga jenjang S1. Berjumpa dengan mereka, sungguh menggoreskan rasa pedih.

Kembali ke tanah air……

Meninggalkan Mekah, Madinah sama beratnya dengan meninggalkan anak saat hendak bertolak dari tanah air. Berharap suatu saat kembali, berharap penanganan ibadah haji diperbaiki, berharap adanya peningkatan kualitas jamaah haji… Banyak harapan, mudah-mudahan Engkau terima hajji kami ya Allah. Mudah-mudahan Engkau mengampuni jamaah haji bilamana banyak kekurangan selama menjadi tamu-Mu ya Allah.

Catatan terakhir......

Pertemuan dengan keluarga di tanah air yang sudah begitu dirindukan jamaah lagi-lagi tercoreng oleh prosedur yang tidak masuk akal. Tercatat di bandara, penstempelan paspor dan pengambilan air zamzam dilakukan secara tidak efisien. Lagi-lagi jamaah dibariskan hanya untuk mengambil air zamzam. Di embarkasi lebih tidak jelas, jauh-jauh dari Sukarno-Hatta jamaah dikumpulkan hanya untuk melihat koper yang sudah dibariskan. Yang lebih aneh lagi, koper tersebut kembali dilemparkan ke atas truk secara serampangan, dan dibagikan di Cibinong satu persatu dari atas truk untuk sekitar 445 orang. Benar-benar prosedur yang dibuat-buat, aneh, tidak logis dan tidak efisien. Itu juga masih diperparah dengan dibiarkannya penjemput memasuki area jamaah yang turun dari bis pengangkut, sehingga turun cukup susah, berdesakan ditambah lagi dengan maraknya para pencopet sehingga banyak orang harus kehilangan beberapa telpon genggam.

Semoga catatan ini bermanfaat bagi yang hendak menunaikan ibadah haji tahun ini....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun