Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta dalam Sekotak Berkat

10 Mei 2018   18:16 Diperbarui: 10 Mei 2018   18:59 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dahulu saat masih SD sampai SMA menunggu kehadiran almarhum bapak pulang membawa sekotak nasi berisi sayur dan lauk pauk yang merupakan oleh-oleh dari acara kenduren, selamatan, yasinan dan bentuk tradisi Jawa lainnya adalah sesuatu yang membahagiakan. Kotak nasi ini bisa  dalam bentuk kotak kertas, plastik, atau besek bambu. Masyarakat daerah kami biasa menyebut kotak nasi tersebut dengan "berkat".

Dalam keluarga, saya termasuk penggemar berat berkat dibanding ketiga saudara saya lainnya yang kebetulan perempuan. Di samping lauknya minimal ada telur dan ayam,  dengan sayur kacang, kadang kentang, dan tempe, berkat juga biasanya berisi nasi jenis pera seperti yang digunakan oleh para pedagang nasi goreng. Nasi jenis ini adalah kegemaran saya, sehingga sekotak berkat waktu masih SD bisa saya habiskan sendiri. Kebetulan sebagai seorang ustad almarhum Bapak sering diundang pada acara-acara kenduren, selamatan dan yasinan, sehingga pasokan berkat tidak pernah kekurangan.

Selain berkat, adalagi yang juga saya nanti-nantikan dibawa oleh bapak atau ibu, yaitu sekotak kue atau snack. Bapak atau ibu dulu saat pulang kerja kerap membawa snack ke rumah yang kemudian menjadi rebutan kami anak-anaknya meskipun tidak sampai berantem. Snack-snack ini bapak atau ibu bawa dari kantornya, sepertinya jatah snack meeting yang sengaja beliau-beliau tidak makan dan akhirnya dibawa pulang.

Rupa-rupanya kebiasaan kedua orang tua dahulu telah menurun pada saya anaknya sekarang. Perbedaannya adalah kalau dulu bapak sering membawa nasi berkat, kalau sekarang acara-acara yang menghadirkan berkat sebagai buah tangan sudah  semakin jarang, dan kebetulan saya jarang menjumpainya.

Tanpa disadari, seringkali saya tidak memakan nasi atau snack yang disediakan dalam meeting dan memilih membawanya pulang. Awalnya sebenarnya saya bosan dengan macam-macam snack meeting yang disediakan saking seringnya icip-icip dari jenis itu-itu juga. Ditambah dengan perut yang sudah kenyang, maka snack box dan nasi box yang disediakan tidak saya sentuh.

Snack atau nasi box (lebih sering snack) yang dibawa pulang, segera menjadi rebutan kedua anak saya. Biasanya baru saja masuk rumah, anak sulung saya langsung membuka tas kerja yang saya bawa dan memeriksa apakah membawa snack box apa tidak. 

Si sulung dan adiknya selalu heboh dan terlihat gembira dengan snack box apapun yang saya bawa ke rumah. Mau kue yang harganya mahal atau murah, mau jenis roti modern atau kue tradisional tidak menjadi masalah bagi kedua anak saya, semuanya diterima dengan riang gembira.

Padahal urusan kue dan jajan, hampir tiap hari kedua anak saya alhamdulillah tidak kekurangan baik di sekolah maupun jajan di 212 mart, Alfa atau Indomaret.

Rupa-rupanya kebahagiaan anak-anaklah yang dulu menjadi alasan bagi kedua orang tua saya sering membawa jatah snack atau berkat mereka ke rumah. Dulu kami tahunya bahwa mereka pulang bawa kue, tidak peduli darimana asalnya. Kini saya paham ketika mengalaminya langsung bahwa ada cinta dalam sekotak kue atau berkat.

Cinta yang diberikan oleh orang tua pada anak-anaknya, tidak dalam bentuk materi yang berlimpah, mainan mahal, namun dalam ketulusan sederhana yang terdapat dalam sekotak kue.

Banyak hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk membahagiakan anak-anak. Kebetulan keluarga kami punya kebiasaan atau tradisi membawa snack box ke rumah. Poinnya adalah membuat anak-anak atau keluarga bahagia merupakan suatu keharusan dan tidak mesti berharga mahal. Ingatlah dalam doa anak-anak soleh kelak ketika kita sudah tiada amal masih tetap dihitung dan mengalir. Hal ini sesuai sabda Nabi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun