Mohon tunggu...
Ferry Yang
Ferry Yang Mohon Tunggu... -

CEO and Founder of Yang Academy, PhD in Education

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masalah Guru di Indonesia, Terhormat atau Terhina?

6 Januari 2017   10:50 Diperbarui: 8 Januari 2017   11:06 2745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru. Kompas.com

Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri HandayaniDi depan menjadi teladan, Di tengah membangkitkan semangat, Di belakang memberikan motivasi.” Ki Hajar Dewantara

Moto dari sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara di tahun 1922 di Yogyakarta ini menjadi moto pendidikan di seluruh negeri. Taman Siswa adalah pelopor sekolah Indonesia yang membuka kesempatan bagi seluruh rakyat tanpa memandang ras, status sosial, kemampuan ekonomi. 

Taman Siswa merupakan jawaban kepada sistem sekolah kolonial yang mendiskriminasi orang-orang Indonesia. Moto Taman Siswa ini menjadi prinsip dasar bagi para guru di seluruh tanah air. Bagaimana seorang guru ideal itu dimengerti oleh Ki Hajar Dewantara, diekspresikan secara tuntas dan elegan di dalam moto tersebut.

Telah dikenal dan sering didengungkan kata-kata “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ketika kata-kata ini disampaikan, maksudnya adalah memberikan pujian yang tak ternilai harganya.  Sebetulnya ini adalah pujian yang sangat baik dan penuh dengan dignitas.  

Apalagi ketika dipahami dalam konteks perjuangan kemerdekaan di dalam pertempuran medan perang yang dipenuhi dengan tetesan darah dan penyerahan nyawa. Guru yang sedianya adalah mengerjakan proses belajar mengajar dalam situasi yang kondusif disamakan dengan pahlawan yang menghadapi resiko terluka, kehilangan anggota tubuh, dan bahkan kematian.

Jika pahlawan di medan tempur mendapatkan tanda jasa yang akan dikenang selama-lamanya, guru dikatakan tidak mendapatkan tanda jasa itu. Pahlawan yang satu ini sampai matipun tidak akan mendapatkan tanda jasa kehormatan seperti para pahlawan yang bertempur di medan perang. 

Dianggapnya guru sebagai pahlawan adalah karena kualitas dan kepentingannya diakui sebagai esensial di dalam pembentukan moral dan intelektual rakyat. Tanpa guru ada maka proses pendidikan tidak akan pernah bisa berjalan.

Posisi sebagai guru tidak boleh dieliminasi jika suatu bangsa hendak memiliki moral dan intelektual yang baik dan kuat. Generasi muda perlu dididik sedemikian rupa untuk boleh bertumbuh dengan sehat dan dewasa. 

Suatu masyarakat yang tidak memiliki generasi muda dapat dipastikan tidak punya masa depan. Masa depan suatu bangsa, bahkan masa depan dunia secara keseluruhan ada di pundak generasi muda. Maka keberadaan guru sangatlah penting adanya. Dan kata-kata “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” mengandung kebenaran yang dalam maknanya.

Tetapi seiring bergulirnya waktu kata-kata tersebut hanya menjadi kata-kata kosong belaka. Malahan label tersebut sangat mudah sekali dieksploitasi dengan menekankan janji moral dignitas yang takternilai harganya dengan negosiasi pengabdian sepenuhnya walau tanpa bayaran yang sesuai sekalipun. Terjadilah penurunan derajat dan dignitas guru di titik ini. Khususnya pada profesi guru sekolah.  

Sampai-sampai kata guru tidak lagi menjadi kata yang menyegarkan lagi. Tidak lagi kata guru menjadi kata yang memiliki kehormatan dan kewibawaan yang agung. Istilah guru lekat sekali dengan konteks hidup pas-pasan, ke sekolah naik sepeda, yang tidak mampu melakukan mengajar, profesi terhina, kumpulan orang-orang yang tidak mampu mendapatkan kerja yang sesungguhnya, dan lain sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun