Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Zealand dan Kesahajaan Kampung Naga

24 Januari 2017   23:19 Diperbarui: 25 Januari 2017   10:39 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto : sebandung.com"][/caption]

Tilaria Padika, salah seorang kompasianer dari NTT, menulis tentang kisah lawatannya di New Zealand. Kisah yang memukau saya yang tak pernah ke mana-mana, kecuali mengukur jalan ibukota yang kian hari kian garang para penghuninya.

Bukan keindahan alam di negeri selatan pasifik itu yang ia kisahkan, sebagaimana para pelancong kebanyakan. Sebagai seorang yang lahir di pulau seindah NTT, keindahan alam tak terlalu membuatnya berdecak kagum. Tapi pesona kultur kehidupan bermasyarakatnya, yang membuatnya ingin membagi keterpukauannya.

Membaca kisahnya, saya malah membayangkan masyarakat yang ada dalam lirik lagu Katon Bagaskara, Negeri di Awan. Dimana kedamaian menjadi istananya.

Andai saya menjadi menteri pariwisata New Zealand, bang Tilaria akan saya undang sebagai tamu kehormatan, karena kesuksesannya memancing orang yang membaca kisahnya untuk berkunjung dan merasakan aura positif penduduk negeri itu.

Jika New Zealand begitu menakjubkan dengan kearifan lokal di tengah gaya hidup dan kemodernan kotanya. Di negeri kita, ada sebuah kampung dengan kearifan lokal yang tetap terpelihara dalam kesahajaan gaya hidup dan kelestarian alamnya.

Sebuah kampung hijau di lembah pegunungan, dengan sungai jernih yang merenda tepinya. Sebuah kampung di salah satu sudut kota Tasikmalaya. Kesejukan dan kelembutan embus angin tak membuat lembek penghuninya yang kukuh menggenggam kuat tradisi leluhurnya. Yang bergeming, tak tergoda dengan penerangan listrik. Hegemoni PLN dengan TDLnya yang membuat masyarakat kota misuh-misuh, tak berlaku di kampung ini.

Alasannya, mereka tak ingin kehidupan warga berubah karena setiap rumah berlomba-lomba membeli barang-barang elektronik mahal, dan mencipta kesenjangan.

Saya jadi teringat kehidupan desa Lerok dalam novel Ulidnya mas Mahfud Ikhwan, yang sekejap berubah gemerlap semenjak listrik masuk. Akibatnya, beranda masjid yang semula ramai oleh anak-anak yang bermain selepas sholat isya, menjadi sepi. Karena di waktu-waktu itu acara tivi sedang bagus-bagusnya.

Membayangkan ketenangan kampung Naga, demikian namanya. Dengan rumah sederhana--namun tahan gempa--yang seragam ukuran dan bentuknya. Dengan kesejukan alamnya. Dengan keramahan orang-orangnya, namun teguh memegang kearifannya. Saya juga teringat sebuah desa samurai di Jepang dalam filmThe Last Samurai.

Di sana, semua berjalan selaras dengan alam. Pesawahan terasering yang padinya mulai menguning dan tertiup angin, bergerak seirama kibasan samurai yang diayun perlahan. Kanak-kanak yang bermain dan berlari, selincah anak panah yang dilesat dari busurnya. Begitu seimbang. Begitu damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun