Lompatan besar dalam peradaban bisa berasal dari kedai kopi. Perhatikan “Sang Penghasut Cerdas” Voltaire. Jangan-jangan otak orang ini terbuat dari serbuk pahit itu. Dengan 40 gelas kopi dicampur coklat per hari, Voltaire meledakkan ide-ide pencerahan dan Revolusi Prancis pun dilahirkan. Kedai kopi Procope adalah saksinya. Tanpa Voltaire, Paris belum tentu segemintang sekarang.
Mereka punya ilmu setinggi tegak, fasih bercakap pasal filosofi, hak-hak pribadi dan kegelisahan akan monarki. Hampir secara serentak, semua tokoh pemicu revolusi berkumpul dan berdiskusi di kedai kopi lewat tengah malam di sebuah tempat, salah satu kedai kopi perdana di Eropa, Café Procope di rue de l’Ancienne Comedie.
Virus kopi Eropa pun menjangkiti orang Amerika, ketika Benjamin Fanklin dan Jefferson hinggap di Café Procope dalam tugas sebagai diplomat Amerika di Paris. Franklin dengan cepat berkawan rapat dengan pecandu kopi paling agung di Paris, siapa lagi kalau bukan Voltaire, seorang penulis, filsuf dan dramawan.
Maka sumbu ledak Revolusi Amerika, Boston Tea Party (1773) dan The Sons of Liberty dibakar dari sebuah kedai kopi bernama Green Dragon Tavern. Di kedai kopi ini, para patriot macam Paul Revere berbincang soal masa depan Amerika dan pergerakan tentara Inggris. Kopi bahkan menjadi kode-kode siasat: orang-orang peminum teh sudah pasti simpatisan Inggris dan loyalis King George. Sedangkan para peminum kopi adalah barisan patriot, pejuang kemerdekaan Amerika.
Di Inggris pula, siapa peminum kopinya? Jangan kaget jika ternyata dia adalah salah satu tokoh paling jenius dan paling revolusioner dalam sejarah, Isaac Newton. Dan masih ada sederetan nama lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Decak kagum untuk pesohor-pesohor Eropa dan Amerika dapat terhenti seketika jika kita mulai mengenang bahwa kopi-kopi yang mereka sesap, tiada lain adalah barang rampokan dari Nusantara. Buku Max Havelaar yang berkisah tentang makelar kopi Belanda telah membocorkan rahasia ini: Kerajaan Belanda menjadi kaya raya karena menjual kopi ke seluruh Eropa dari hasil tanam paksa. Kopi itu adalah kopi paling terkenal di dunia dengan merek “Java”.
Tidak cukup dengan itu, Belanda memberikan bibit kopi dari Jawa kepada Raja Prancis, Louis XIV. Hingga kemudian budaya kopi dan kafe makin berkembang di seluruh Paris. Kalau saja Louis XIV tahu bagaimana nasib dinastinya yang diruntuhkan oleh para peminum kopi yang ia tanam sendiri.
****
Jika otak Eropa mendidih lantaran kopi yang dikirim dari negeri ini, bagaimana dengan kita? Kita memang tidak sedang butuh energi untuk meruntuhkan dinasti, tapi dengan mengambil semangat para peminum kopi macam Voltaire dkk, akan banyak ide cergas yang bisa dikumpulkan pada satu titik, ketika kafein bekerja merangsang kegairahan otak. Paling tidak, kedai kopi tidak lagi dijadikan sebagai tempat mengoceh tak berujung pangkal.
Kita menunggu Voltaire-Voltaire Melayu yang mampu menyalakan api kegairahan berpikir dan menginspirasi banyak orang, demi perubahan negeri ini, membangun menhir-menhir peradaban yang membuat Indonesia menjadi pantas ditulis dengan tinta emas sejarah dunia. Percayalah, peminum kopi itu keren, sekeren musisi Beethoven dan penyair Margareth Atwood yang tak ingin berpisah dengan kopi selamanya. ***
#tulisan ini bukan pariwara kopi dan kampanye hitam untuk peminum teh.