Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melawan Lintah Darat

22 April 2017   11:40 Diperbarui: 22 April 2017   20:00 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pedagang kecil, yang membuka lapak di pasar tradisional dan yang menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling kampung, acap kali menghadapi persoalan modal. Lantas, mereka terbelit dan berurusan dengan rentenir, yang bersifat individu ataupun berpayung dalam sebuah lembaga keungan resmi, bisanya berbadan hukum Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA). Bunganya, bukan main, mencapai 35 persen dalam 40 hari. Bunga yang melebihi kartu kredit sekalipun.

***

Ini kisah terjadi pada masa tiga dasa warsa yang lalu. Tetapi, fenomenanya masih saja abadi sampai saat ini, dan hadir di depan mata sebagai peristiwa keseharian. Lintah darat, bank plencit, dan rentenir. Mungkin sebagian dari kita tak peduli dan menganggap sebagai peristiwa transaksi keuangan pada umumnya. Tetapi, ketika kita hendak sedikit peduli, sungguh situasinya akan berbeda. Para pedagang kecil itu sedang tercekik dalam transaksi keuangan dengan bunga uang sungguh keterlaluan.

Kisahnya begini. Selepas mengenyam pendidikan Madrasah Aliyah di Pesantren Daarul Ma'arif, Tegineneng, Lampung Selatan, saya tak pergi ke mana-mana, tetap tinggal di Kompleks Pesantren. Saya mengikuti kegiatan yang dikembangkan KH. Mohammad Haryanto--salah satu putra Kiai Assegaf, pengasuh Pesantren. Abah Muh, begitu biasa para santri memanggilnya, memiliki pandangan yang luas dan keberpihakan kepada masyarakat kecil. Menurutnya, Pesantren tak hanya bisa menyumbangkan bakti kepada masyarakat melalui pendidikan agama, tetapi juga harus turut memampukan ekonominya. Dengan begitu, masyarakat akan mampu mengamalkan ajaran agama, bersedekah, infak dan berzakat.

Foto: Hamdani/Kuryani
Foto: Hamdani/Kuryani
Suatu waktu, Abah Muh mengajak saya berdiskusi mengenai masalah kemiskinan di sekitar Pesantren. Banyak masyarakat miskin, kehidupan susah dengan penghasilan ekonomi yang sangat rendah, bahkan bisa dikatakan tak mencukupi kebutuhan kesehariannya. Salah satunya, para pedagang keliling, sayuran dan makanan kecil. Dalam mempertahankan usahanya, para pedagang keliling itu sering kali kekurangan modal. Pasalnya, tak jarang mereka harus menggunakan modal dan keuntungan usahanya sekalgus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.

Tak ada jalan lain. Meminjam modal ke Bank, bukan perkara mudah. Selain rumit dan lama prosesnya, juga harus menyerahkan agunan. Misalnya, sertifikat tanah, yang mereka juga tak memilikinya. Penawaran pun datang, dengan proses mudah dan cepat, bahkan langsung cair pada saat itu juga. Tak memikirkan berapa bunga yang harus dibayarnya, para pedagang keliling ini meminjam modal ke Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA). Bunganya pinjaman yang harus dibayarkan para pedagang keliling ini sebesar 30% lebih dalam waktu 40 hari.

Sebagai ilustrasi, jika pedagang keliling meminjam dana Rp. 10.000,-, dia akan menerima uang sebesar Rp. 9.000,-. Pasalnya, uang pinjaman itu langsung dipotong biaya administrasi sebesar Rp. 500,- dan dana simpanan wajib sebesar Rp. 500,-. Setiap hari, selama masa pinjam (40 hari), pedagang keliling harus mengasur pinjaman sebesar Rp. 300,- setiap harinya. Jika ditotal, seluruh angsuran yang dibayarakan sebesar Rp. 300,- X 40 hari = Rp. 12.000,-.

KH. Mohammad Haryanto/Diyah
KH. Mohammad Haryanto/Diyah
Bagaimana membebaskan mereka dari cekikan bunga yang sangat tinggi? Abah Muh, memutuskan untuk menggantikan peran bank plencit itu. Artinya, menyediakan modal usaha untuk para pedagang keliling, sehingga mereka tak lagi meminjam dana ke bank plencit. Singkat cerita, dikumpulkanlah para pedagang keliling itu. Saya memfasilitasi proses pertemuan. Hasil kesepakatan para pedagang keliling itu, mereka membentuk Kelompok Usaha Bersama "LUMAYAN". Agar tak mengubah tradisi, mereka bersepakat menerapkan sistem yang sama dengan bank plencit. Bedanya, bunga sebesar 30% dalam setiap kali putaran pembayaran, otomatis menjadi tabungan setiap pedagang kecil.

Kelompok Usaha Bersama "LUMAYAN" para pedagang keliling itu terbebas dari jeratan lintah darat. Selain itu, mereka juga bisa meminjam dana kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan kecil lainnya melalui Kelompok Usaha yang mereka kembangkan ini. Tak lagi perlu menggunakan dana modal usaha yang membuat mereka akan mengalami kebangkrutan.

Setiap kali saya mengingat upaya kecil ini, bagi para pedagang keliling, sungguh sangat mengharukan. Dan saya sungguh sangat berterima kasih kepada para pedagang keliling itu, sebab dari mereka pula saya belajar keberpihakan yang amat kuat kepada orang-orang yang dihinadinakan--meminjam istilah Romo Mangunwijaya, orang-orang yang hilang dari mata rantai kebijakan perbankan nasional.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun