Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Aku Anak Desa

25 Januari 2017   06:00 Diperbarui: 25 Januari 2017   07:59 3514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku anak desa benaran. Buktinya, Ayah dan ibuku adalah petani tulen yang tinggal  di desa,  berlokasi di sebuah titik di bagian tengah pulau Sumatera.  Setiap hari mereka sibuk kerja mencangkul di sawah atau  di ladang. Di sawah mereka menanam padi,  di ladang  mereka menanam singkong. Hasil tanaman singkong digunakan untuk membuat kerupuk singkong, yang menjadi PR ibuku sehabis istirahat dari bekerja di sawah atau di ladang di siang hari. Setiap hari pekan,  ayahku membawa beberapa karung kerupuk singkong itu untuk dijual di pasar.  

Mekipun orang desa tulen, janganlah aku dipandang enteng. Yang jelas,  sekarang aku adalah  mahasisiswi sebuah perguruan tinggi swasta, yang nama pemiiknya sangat terkenal sebagai pengusaha dan politikus. Lokasinya pun di tempat strategis, di segi tiga mas Kuningan, di kawasan elit di ibukota. Bahkan aku hampir tamat kuliah S-1. Tinggal satu semester lagi.

Aku masih ingat betapa sulitnya meyakinkan ayah dan ibu untuk mengizinkan aku melanjutkan pendidikan tinggi di pulau Jawa, sendirian lagi. Soalnya aku adalah anak perempuan yang diharapkan menjadi pelanjut trah kesukuan dari pihak ibuku.

Jadi seharusnya setamat SMA aku menunggu dicarikan suami, lalu menikah dan melanjutkan kehidupan sebagai orang desa. Ayah dan ibuku membujuk agar aku melanjutkan pedidikan tinggi di kota B saja,  yang mempunyai sejumlah perguruan tinggi. Saya bilang tidak mau, karena di kota itu paling-paling hanya ada sekolah tinggi agama, yang  setiap tahun hanya memproduksi sarjana pengangguran.  

Aku bilang, Ayah kan termasuk orang paling kaya di desa kita, untuk apa puluhan tahun kerja keras setiap hari mencari uang,  kalau sekolah tinggi  anak-anaknya hanya di sekolah tinggi agama, yang mahasiswanya sebagian besar dari keluarga miskin.

Akhir perdebatan itu,  ayah dan ibuku setuju aku melanjutkan pendididikan tinggi di pulau Jawa, pokoknya di perguruan tinggi yang punya reputasi baik, yang tamatannya tidak menjadi penganggrrran. Aku juga dinasehati untuk bisa menjaga diri, shalat tidak boleh dilalaikan dan tidak terlibat narkoba. Aku harus belajar sungguh-sungguh dan tidak berpacaran dulu sampai aku tamat S-1.  Ayahku bilang agar aku juga ikut  kursus unuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggeris, menjadi betul-betul fasih baik ngomong, nulis dan dengar.  

Ayah dan ibuku, meskipun hanya bertani, mereka adalah petani sukses di desaku.` Mereka pasti mampu menyediakan biaya kuliahku, meskipun cukup mahal.  Mereka  pasti mampu mengirimi uang belanja, untuk membayar sewa kost, biaya transportasi, dan biaya hidup sehari-hari.

Ayah dan ibuku bisa kaya bukan karena memperoleh tanah warisan yang luas.  Sekola mereka hanya tamat SMA saja. Mereka bisa punya banyak uang karena memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi.  Jiwa kewirausahaan sudah lengket pada Ayahku dan ditularkannga  kepada ibuku.

Dua puluh tahun silam, setelah menikah, mereka memutuskan pulang kampung  dan mencari penghidupan di desa ibuku. Sudah beberapa tahun mereka bekerja di ibukota propinsi tetangga sebagai buruh pabrik. Tapi penghasilan mereka hanya cukup untuk biaya hidup secara sangat sederhana. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin tetap berstatus buruh pabrik saat anak-anak mereka lahir.

 Di desa,  mereka memulai usaha dengan bertani kecil-kecilan, sebagai petani penggarap  karena tidak punya sawah. Dimulai dengan menggarap sepetak sawah milik nenekku. Tahun berikutnya ia sudah menggarap 10 petak sawah milik orang kampung  yang merantau entah  ke kota mana. Lalu dengan uang yang berhasil ditabung,  ayahku membeli sebuah taktor agar ia bisa menggarap sawah lebih banyak lagi. Hebatnya, pada tahun-tahun berikutnya ayah dan ibuku mampu membeli lagi traktor, dan semuanya dibeli secara tunai. Sekarang mereka memiliki 10  buah traktor.

Maka ayahku mempekerjakan pemuda desa untuk mengolah sawah-sawah dengan menggunakan traktor itu.  Hasilnya, setiap kali  panen padi,  rumah kami dipenuhi oleh karung-karung berisi padi.  Bahkan sebagian padi hasil panen itu disimpan di gudang sebuah RMU milik tetangga.  Dua gudang milik RMU dipenuhi oleh karung-karung berisi padi milik ayah dan ibuku. Pemilik RMU tentu senang, karena sudah pasti akan mendapatkan padi yang akan digiling di RMU-nya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun