Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyisir Rambut Mak (1)

8 November 2012   08:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:46 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13523619751266311237

"Mak, aku bantu potong rambutnya ya kalau Mak nggak mau di salon."

Aku menawarkan jasanya kepada Mak sembari menyisir rambut budhenya yang sudah menjuntai melebihi pantat semoknya. "Nduk, rambut ini yang membuat Mak jadi seperti sekarang ini. Berwibawa. Banyak sawah." Aku tertegun, tak paham apa maksud ucapan Mak. Sisir merah yang aku pegang, seketika itu juga sudah kugeletakkan di kasur di mana Mak duduk. "Maksud Mak?" Mak tersenyum. Terlihat beringas. Tanganku mulai gemetar dan mencoba menjauh pelan-pelan dari Mak. Perasaanku menunjukkan bahwa ada sesuatu yang membuatnya mendadak kaya raya. "Dari dulu kamu selalu jeli, Sari. Makanya kujadikan kamu tumbal terakhirku." Wajah Mak sekarang terlihat menyeramkan. Aku mencoba menenangkan dirinya, menunggu fakta tentang kematian keluargaku yang menurutku ada ketidakwajaran. "Semua yang meninggal, bersedia menyisirkan rambutku. Dan mereka bersedia mati demi aku." Suara Mak membahana bangga. "Dan kamu yang terakhir, Sari" Aku semakin gemetar. Kakiku tak sanggup lagi berdiri dan tubuhku sekarang hanya bertopang pada ujung kursi jati dipojok ruangan. "Mak gila!! Mereka mati bukan karena mengabdi pada Mak!" Aku berteriak kencang, melebihi suara Mak. Mak tertawa keras, sampai gigi emasnya terlihat semua. "Ya, karena mereka tumbal, Sari"

***

Aku masih ingat dengan jelas, ketika Mak, panggilanku untuk budhe Ria, masih menjadi pembantu rumah tangga di keluarga pak Nyoto 11 tahun yang lalu. Usiaku ketika itu masih 12 tahun dan masih menjadi siswa SMP kelas 2. Tiap hari Mak berangkat ke rumah pak Nyoto pukul 6 pagi dan kembali ke rumah sekitar pukul lima sore. Mak pernah bercerita, kalau pekerjaan dia di sana tidaklah terlalu berat. Karena beberapa pekerjaan rumah masih dikerjakan bu Nyoto sendiri.

“Paling berat ya nimba air di sumur belakang kalau airnya nggak keluar.” Begitu Mak berkata kalau aku bertanya pekerjaan terberatnya di bu Nyoto. Ya, benar memang. Beberapa kali aku ikut Mak ke rumah bu Nyoto atas ijin bu Nyoto, Mak memang banyak menganggurnya kalau jarum jam yang pendek sudah berada pada angka dua. Sisa waktu Mak ternyata lebih banyak dipakai untuk mendengarkan keluh kesah bu Nyoto tentang suaminya yang dikabarkan punya istri lagi di luar kota yang membuat suaminya jadi jarang di rumah. Atau, Mak mendengarkan bu Nyoto menyombongkan dirinya karena sawahnya yang berhektar-hektar dan bisnis ikan lelenya yang maju pesat.

Tidak jarang Mak diejek bu Nyoto karena kemiskinannya. Tapi tidak ada yang bisa dia perbuat selain menebalkan telinganya karena dia butuh uang yang mengalir deras dari dompet bu Nyoto setelah dirinya puas berkeluh kesah atau mengejek Mak. Pernah aku bertanya apa Mak tidak risih selalu mendengarkan cerita bu Nyoto, dan Mak hanya menjawab enteng bahwa suatu saat bu Nyoto akan mati sehingga ikut mati juga kebiasaan berceritanya.

Ketika itu, aku kira Mak hanya bercanda. Jadi aku ikut tertawa saja melihat Mak menertawakan jawaban atas pertanyaanku.

Aku yatim piatu sejak kelas 5 SD. Bapak ibuku meninggal karena tertabrak bus ugal-ugalan di perbatasan Pasuruan – Probolinggo ketika mengantarkan pakdhe, suami Mak yang juga meninggal dalam kecelakaan itu, berobat di rumah sakit pemerintah Surabaya karena tumor ganar yang menjalar di kaki kirinya. Sejak itu, aku resmi diasuh Mak dan tinggal di sebuah rumah kecil, yang hampir roboh karena kusen-kusennya banyak yang sudah dimakan rayap, di Grati, kecamatan terujung kota Pasuruan yang berbatasan dengan Probolinggo.

Meskipun ketika itu aku masih kelas 5 SD, aku tahu, beban Mak semakin berat karena Mak menambah pengeluarannya untuk mengasuhku selain mengasuh 3 sepupuku yang sama-sama masih sekolah. Tapi Mak selalu membesarkan hati kami bahwa dirinya mampu membiayai sekolah kami sampai kami lulus kuliah nanti.

“Kalian berempat, ingatlah. Mak akan selalu mencari uang untuk kalian sebanyak mungkin supaya kalian tidak merasakan bagaimana rasanya miskin.” Ucap Mak suatu malam ketika Dewi, sepupuku yang usianya masih 6 tahun, mengeluh perutnya sakit karena belum diberi makan oleh Mak sejak siang.

Mungkin bagi ketiga sepupuku, kalimat Mak adalah motivasi untuk tidak miskin. Tapi bagiku, kalimat Mak seperti kalimat untuk meyakinkan diri bahwa banyak jalan untuk tidak lagi menjadi miskin.

***

Hingga suatu hari, saat usiaku 16 tahun, Mak bisa mengganti kusen-kusen rumah yang berlubang dengan kusen baru, yang aku tahu Mak tidak mengeluarkan uang sedikit untuk itu. Tanpa sengaja aku mengintip nota pelunasan pembelian barang yang jumlahnya mencapai lima juta rupiah. Uang yang banyak sekali bagi aku setelah aku merasakan bagaimana kami berlima hampir tiap hari tidak bisa makan dua kali.

Tapi aku lega, karena tidak lagi dihinggapi perasaan ketakutan kalau rumah kami akan roboh karena sudah lapuk. Namun, kelegaanku tidak mengendap lama karena Dewi sering kali masuk rumah sakit karena maag. Dulu dokter pernah menyarankan supaya Dewi tidak sampai telat makan. Tapi, setelah aku tahu Mak sudah bisa memperbaiki rumah, Dewi dan kami semua tentunya, tidak pernah lagi telat makan. Bahkan kami sudah bisa makan tiga kali dalam sehari.

Sampai pada akhirnya Dewi meninggal karena luka lambung dan terus mengalami pendarahan.

***

-BERSAMBUNG-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun