Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Hilmy Yusuf
Muhammad Irfan Hilmy Yusuf Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Writer @ Alodokter.com. Microbiologist, Penggemar Film dan Serial berkualitas, pembaca buku. Biasa menulis di situs Alodokter.com dan mirfanhy.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

The Imitation Game, Pemblokiran Telegram dan Perpu No 2 Tahun 2017

17 Juli 2017   12:49 Diperbarui: 17 Juli 2017   18:43 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for chat via telegram | (pic source : www.washingtonpost.com)

Ada satu scene yang sangat menarik buat saya di film the imitation game, yaitu ketika tim turing berhasil memecahkan mesin enigma dan mengetahui koordinat berbagai kapal angkatan laut nazi. tim turing ingin memberitahukan temuannya ini kepada pimpinan angkatan laut sekutu untuk mencegah pembantaian angkatan laut sekutu (britania terutamanya) oleh nazi. 

Akan tetapi justru alan turing melarang hal tersebut untuk mencegah nazi mengetahui bahwa kode enigma mereka sudah terpecahkan dan mengganti metode komunikasi mereka. meskipun pada sejarah aslinya bukan tim turing yang memutuskan hal ini melainkan petinggi militer sekutu, akan tetapi keputusan dan alasan mereka kurang lebih sama dengan apa yang diungkapkan turing : mencegah musuh mengetahui kalo komunikasi mereka berhasil disadap dengan membiarkan musuh melakukan apa yang direncanakan oleh mereka.

Sekarang, coba dipikirkan. kalo saja tim turing atau britania saat itu mempublish besar-besaran bahwa mereka berhasil memecahkan kode enigma, apa yang akan nazi lakukan? simpel, nazi akan mengganti metode komunikasi mereka agar rahasia komunikasi nazi tetap terjaga. apakah terdengar familiar dengan kondisi sekarang?

Coba bayangkan kalo misalnya, pemerintah mempublish bahwa mereka mengetahui teroris berkomunikasi lewat telegram dan memblokirnya, apa yang akan teroris lakukan? simpel, mereka tinggal mengganti metode komunikasi pakai media lain. toh, sosial media sekarang sudah berjamur, masalah telegram di blokir hanya masalah waktu teroris untuk mengganti metode komunikasi mereka. tapi tunggu dulu, saya gamau bilang kalo pemerintah itu "sebodoh itu" dengan mempublish temuan mereka terkait "informasi musuh".

Perlu diingat bahwa telegram ini salah satu hajat orang banyak karena banyak yang jualan online dan berkomunikasi lewat telegram juga. pemblokiran telegram tentunya akan memantik "isu panas" yang akan menarik perhatian banyak orang sehingga isu-isu lain "yang lebih penting" akan terabaikan dan tidak terkawal. toh bisa jadi kebijakan pemblokiran telegram ini dicabut kembali sama pemerintah, seperti kasus pelarangan gojek beberapa tahun lalu dan kasus rencana sekolah full day beberapa bulan lalu. kerasa ngga, polanya familiar? saya sendiri sih ngerasanya polanya sama persis.

Ketika perhatian masyarakat fokus ke "isu telegram", ada isu lain yang lebih penting sebenarnya buat dibahas. salah satunya perpu no 2 tahun 2017 tentang pembubaran ormas. kenapa penting? karena saya sendiri ngerasanya bahwa perpu ini bisa jadi bentuk penyalahgunaan kekuasaannya presiden (abuse of power) yang ga bisa dibiarkan, bahkan bisa jadi bentuk inkonstitusinya presiden. 

Jika dilihat dari proses pembuatan perpu (yang menurut saya entah kenapa adem ayem aja dari pemberitaan), ini agak aneh dan perlu dipertanyakan alasannya. pertama, karena perpu sendiri dibuat ketika keadaan memaksa dan genting, akan tetapi, keadaan memaksa dan genting ini justru berdasarkan subjektivitas seorang presiden. memang ada mekanisme kontrol dari DPR yang dapat menerima atau menolak alasan "keadaan genting dan memaksa" yang menjadi dasar pembuatan perppu. selain itu, kadar objektivitas suatu "keadaan memaksa dan genting" sebuah perpu menurut MK ada tiga parameter :

i. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
ii. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
iii. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Kedua, dari aturan MK tersebut, saya menyoroti yang nomor 2, yaitu adanya kekosongan hukum yang memerlukan pembuatan perpu. terkait perpu tentang ormas nomor 2 tahun 2017 ini sangat berkaitan dengan undang-undang no 17 tahun 2013 yang mengatur secara rinci tentang ormas, termasuk mekanisme pemberian peringatan, penjatuhan sanksi dan pembubaran ormas bagi ormas yang dianggap tidak melakasanakan kewajiban ormas terhadap negara atau melanggar larangan ormas yang ditetapkan oleh negara.

Permasalahannya bukan hanya perpu no 2 ini dibuat ketika uu no 17 tahun 2013 itu masih ada dan berlaku, akan tetapi di dalam mekanisme pemberian sanksi kepada ormas, perpu no 2 tahun 2017 justru dapat menjadi potensi penyalahgunaan kekuasaan presiden terhadap ormas dengan menghilangkan kontrol lembaga yudikatif dan legislatif kepada presiden. di dalam uu no 17 tahun 2013, presiden harus meminta pertimbangan MA terkait penjatuhan sanksi kepada ormas tingkat nasional dan DPRD, kejaksaan serta kepolisian untuk memberikan sanksi kepada ormas tingkat kabupaten/kota dan provinsi. nah di perpu no 2 tahun 2017, aturan ini DIHILANGKAN. ada apa? kenapa?

Adanya kontrol terhadap kewenangan presiden terkait ormas ini penting karena subjektivitas presiden terhadap ormas ini bisa menjadikan ormas tersebut sebagai korban kesewenang-wenangan presiden. kalo ga dikontrol, bisa-bisa semua ormas yang dianggap "menentang pancasila" dan "mengganggu ketertiban dan keamanan negara" diberangus semua. jadinya serasa balik lagi ke masa-masa orde baru dimana apa-apa dilarang dan diawasi. padahal kalo bicara masa-masa pemilu 2014 kemarin (maaf gagal move on) isu "kembali ke zaman orde baru" ini sangat kencang sekali loh dihembuskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun