Mohon tunggu...
Miqdad Husein
Miqdad Husein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aktivis Keagamaan

Sangat menyukai joke-joke segar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan Anti Dinamika Intelektual?

23 Maret 2017   08:16 Diperbarui: 23 Maret 2017   08:29 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyebut keterikatan keagamaan, biasanya yang tergambar adalah kepasrahan total, tanpa kesempatan mengekspreskan ide pemikiran. Segalanya harus tunduk terhadap doktrin dan ketentuan agama bersangkutan. Tak ada kesempatan manusia menggunakan akal pikirannya. Beragama berarti tidak boleh berpikir, hanya tunduk dan patuh. 

Semua sikap beragama seakan diidentikkan sikap tanpa akal. Tuhan menjadi sesuatu yang harus ditaati tanpa kesempatan ditanya dan dipikirkan firman-firmannya. Tuhan selalu digambarkan sangat anti intelektual, anti pemikiran. Karena itu, berkembang pula pemikiran bahwa agama hanya pantas dianut oleh mereka  yang tak mampu lagi menggunakan pikirannya. 

Sikap kecenderungan menganggap agama 'mematikan' akal itu sebenarnya tergolong aneh dan ironis. Sebab, penolakan memberikan kesempatan berkembangnya pemikiran secara tak langsung menempatkan Tuhan pada posisi inferior. Seakan Tuhan itu takut dengan kecerdasan dan sikap kritis manusia. Tuhan secara politik seakan anti demokrasi  yang tak memberi kesempatan manusia, yang memiliki kemampuan berpikir, mengembangkan pemikiran bebasnya. 

Adalah menarik untuk memahami semangat pemikiran dan penghargaan akal, yang ada dalam ajaran Islam. Berbeda dengan kecenderungan yang berkembang tentang persepsi agama,  yang dianggap menafikan akal, agama Islam justru mengecam manusia yang tidak menggunakan akal pikirannya. Dalam surat Al-Isra' ayat 36, Al-Qur'an bahkan memberikan ancaman keras terhadap manusia yang tidak menggunakan akal pikirannya dan hanya sekedar menjadi pengekor. "Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuan, sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati akan diminta pertanggungjawaban."

Lalu, bagaimana Islam memandang kesadaran ketuhanan manusia? Lagi-lagi sangat terasa penghargaan akal pikiran dalam Islam. Bertuhan bukanlah sebuah sikap tanpa akal pikiran. Bertuhan dalam  pandangan Islam justru merupakan proses berpikir atau hasil dari kesadaran pemikiran manusia. "Agama itu akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal," tegas Nabi Muhammad SAW. 

Peneliti keturunan Belanda yang banyak meneliti masalah tarekat, Martin van Bruneisen, punya pandangan lebih ekstrim lagi. Menurutnya, kaum fundamentalis agama pun, yang tergambar anti intelektual karena sikap ketaatan agamanya yang luar biasa, jusru kental kesadaran intelektualnya. "Mereka memiliki akar  intelektual yang kuat," paparnya, sekali waktu. 

Mereka, yang disebut fundamentalis itu memang, seringkali bersikap ekstrim terhadap satu masalah. Namun, sikap itu lebih merupakan sebuah reaksi dan protes sosial karena dianggap tak sejalan dengan visi dan misi keagamaan  yang mereka anut dan sama sekali tidak terkait dengan persoalan kualitas intelektual. 

Wilayah ketuhanan dalam Islam, memang terasa sangat menarik. Di satu sisi ada hadist, yang mengatakan, "Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah engkau berpikir zat Allah." Namun di sisi lain penghormatan dan penghargaan terhadap pemikiran yang bersentuhan dengan persoalan ketuhanan dalam Al-Quran terasa sangat luar biasa.  Dua hal ini tak berbeda. Hadist Nabi itu mengingatkan agar berpikir dulu tentang ciptaan Tuhan. Jangan buru-buru berpikir tentang penciptaNya. Memikirkan ciptaanNya saja belum mampu, apalagi memikirkan Sang Pencipta. 

Dalam satu ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa manusia yang berilmu memiliki ketauhidan -- kesadaran pengakuan Tuhan -- yang sama dengan para malaikat, yang secara teologis dipahami telah berhadapan langsung dengan Tuhan. Artinya, manusia yang berilmu, walau tidak berhadapan langsung dengan Tuhan, dalam pandangan Islam memiliki ketauhidan sama dengan malaikat. 

Mendekati Tuhan, dalam pandangan Islam harus memiliki bekal intelektual. Kesadaran ketuhanan memerlukan kemampuan intlektual yang baik dan bukan sebaliknya. Dari kemampuan intelektual yang baiklah, kesadaran ketuhanan manusia dapat berkembang subur. 

Memang, sikap intelektual yang mampu menuju kesadaran Tuhan tidak semata-mata mempertimbangkan fakta-fakta fisik. Dasar pemikiran lahiriah atau fisik saja, bisa membuat manusia terjebak pada respon ketuhanan, seperti yang diperlihatkan Bertrand Russel. "Secara rasional keberadaan Tuhan mudah dibuktikan, tapi mudah pula secara rasional dibuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada," ungkap filsuf Inggris itu, yang akhirnya memilih sikap menganggap Tuhan itu tidak ada, karena semata-mata memandang masalah ketuhanan dari sikap intelektual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun