Mohon tunggu...
Miqdad Husein
Miqdad Husein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aktivis Keagamaan

Sangat menyukai joke-joke segar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lagi, Presiden Jokowi Dikaitkan Komunis dan Sekularisme

29 Maret 2017   16:12 Diperbarui: 29 Maret 2017   16:25 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernyataan Presiden Jokowi agar  semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antar umat beragama merupakan persoalan lama relasi agama dan kekuasaan. Pernyataan yang disampaikan saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara  itu (23/3/2017) agaknya sebagai bentuk keprihatinan terhadap gesekan-gesekan kecil dalam pelaksanaan Pilkada khususnya di Jakarta.

Seperti biasa, ada saja yang mencoba memplintir pernyataan Presiden Jokowi  sebagai bagian dari persambungan dengan pemikiran komunis, yang watak dasarnya anti agama. Pernyataan itu dianggap pula pembenaran terkait ramainya perbincangan kebangkitan komunis beberapa waktu lalu.

Yang sedikit lunak menganggap pernyataan Presiden Jokowi sebagai bentuk keberpihakan pada sekularisme, yang  bertolak belakang dengan ajaran Islam. Lagi-lagi ini diplintir menjadi pembenaran bahwa pemerintahan Presiden Jokowi kurang bersikap baik pada kalangan ummat Islam.

Inilah konsekwensi persoalan relasi agama dan negara atau kekuasaan jika diseret  kepentingan politik. Wacana yang berkembang bukan lagi upaya mencari solusi ideal bagaimana merumuskan hubungan negara dan agama agar seminimal mungkin terhindar dari berbagai dampak ketegangan, gesekan-gesekan maupun konflik. Yang terjadi  di sini  makin menunjukkan  bahwa memang ada persoalan besar formulasi hubungan agama dan negara. Bahwa mereka yang mencari solusipun terkondisikan berhadapan dengan cara pandang yang lagi-lagi bertitik tolak konsepsi hubungan negara dan agama, yang jauh dari ideal, yang masih berlumur masalah.

Presiden Jokowi yang mewacanakan hubungan negara dan agama mendapat respon mereka yang berangkat dari pemikiran dengan konsepsi relasi negara dan agama  bukan sebagai sebuah respon intelektual tapi lebih kental nuansa politik; yang memperlihatkan pula berada dalam lingkaran pemikiran bemasalah. Jadilah upaya mencari masalah direspon oleh sebuah perilaku ataupun pemikiran yang juga masih bermasalah.

Jalaluddin Rakhmat dalam dua tulisan Benarkah Agama Menyebabkan Tindakan Kekerasan, seperti ditayangkan website geotimes relatif panjang lebar memaparkan relasi agama dan politik.  Sangat jelas sekali betapa pemikiran, persepsi, analisa  realitas empirik  agama dalam mempengaruhi sikap politik terutama terkait berbagai bentuk tindakan kekerasan masih debatable. Seperti juga terjadi di negeri ini berbagai pandanganpun bahkan dari mereka yang berlatar belakang intelektual –bukan politisi- masih sulit membebaskan diri dari kepentingan politik.

Bahkan antar pemikiran kalangan intelektualpun ternyata juga sulit bebas sepenuhnya dari latar belakang agamanya.Karena itu tidak aneh misalnya, paparan fakta yang dianggap sebagai kekerasan  agama selalu dinisbahkan pada agama Islam walau fakta riil semua agama selain Islam pernah  berada dalam setting sama bahkan jauh lebih dasyat lagi. Sebuah stigma kadang  dibungkus begitu rapi seakan tesis ilmiah walau faktanya sangat bias karena aroma kental kepentingan politik berlatar belakang agama.

Karena itu mengacu kompleksitas atau lebih tepatnya keanekagaman konsepsi tentang relasi agama dan negara seharusnya setiap wacana dari siapapun dipahami obyektif sebagai upaya mencari formulasi ideal. Bagaimanapun jejak-jejak panjang tindakan kekerasan hasil dari relasi agama dan politik -walau tidak mudah- perlu diupayakan segera diakhiri.

Secara obyektif sebenarnya tak ada ajaran asli agama di dunia yang mengajarkan dan memerintahkan tindak kekerasan. Selalu kekerasan –jika dinisbahkan karena agama- memiliki kaitan kepentingan politik. Bahkan sebuah negara agama sekalipun jika melahirkan tindakan kekerasan dalam bentuk peperangan hampir selalu –untuk tidak menyebut seluruhnya-bermuatan kepentingan politik kekuasaan.

Di sinilah mudah dipahami  jika kekerasan berlatar atau bernuansa agama sebenarnya lebih merupakan manipulasi agama untuk sebuah kepentingan  politik. Agama selalu menjadi legitimasi, amunisi bahkan instrumen pengikat, mobilisasi kepentingan politik.

Kekuasaan selalu membutuhkan pengikat sebut saja idiologi atau yang paling ringan semacam jargon-jargon untuk mobilisasi pemikiran dan perilaku masyarakat. Agama  hampir selalu menjadi pilihan pertama para pemanggku kepentingan kekuasaan karena memiliki anatomi sangat seksi  dan memenuhi semua syarat yang diperlukan. Ditambah kesadaran dan pemahaman keagamaan  yang kadang masih artifisial mudah sekali penganut agama menjadi alat memuaskan kepentingan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun