Mohon tunggu...
Miqdad Husein
Miqdad Husein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aktivis Keagamaan

Sangat menyukai joke-joke segar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Kasus Ahok Harus Revolusi! Ahai...

24 April 2017   17:46 Diperbarui: 25 April 2017   02:00 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karena kasus Ahok sebuah teriakan keras bergaung memekakkan telinga: revolusi. Karena tak puas tuntutan jaksa lantas Rizieq Shihab dan beberapa orang meneriakan perlu segera revolusi. Jika Ahok tak dipenjara maka harus revolusi.

Luar biasa sosok Ahok ini. Ia seakan rentetan kesalahan setaraf Orde Baru yang telah 32 tahun membuat negeri ini berada dalam tirai besi. Ia seakan “penyebab” berat berbagai persoalan bangsa sehingga perlu revolusi bila tak dipenjara. Dan seakan revolusi harus dilakukan hanya karena kasus Ahok tak memberi kepuasan pada sebagian rakyat negeri ini.

Begitu bernilai manusia yang satu ini sehingga beberapa bagian dari masyarakat di negeri ini menumpahkan energinya, termasuk teriakan revolusi. Ahai.  Bisa jadi ini makin menegaskan  bukan karena Ahok dan lebih merupakan manipulasi kepentingan yang berlindung di balik kasus Ahok. Tetapi sungguh menyedihkan jika karena ketakpuasan pada kasus Ahok sebuah revolusi harus disegerakan.

Tak perlu menjadi cerdas. Entah berapa kasus hukum di negeri ini yang membuat siapapun kecewa. Bukan hanya tuntutan jaksa. Bahkan banyak keputusan hakim yang menyakitkan rasa keadilan. Tetapi alih-alih revolusi kadang hanya segelintir orang yang  peduli dan berpikir keras bagaimana membenahi dunia peradilan yang carut marut.

Tapi Ahok menyangkut masalah keyakinan keagamaan? Ini soal keyakinan. Menyangkut masalah kitab suci ummat Islam. Baiklah. Sebagai seorang muslim saya juga “marah” terhadap perilaku Ahok. Siapapun boleh tidak puas pada tuntutan jaksa, termasuk juga keputusan hakim. Bisa jadi kecewa karena tuntutan jaksa belum mencerminkan rasa sakit ketika kitab suci agama Islam dilecehkan.

Lantas apa karena kekecewaan, karena amarah belum terlampiaskan, karena hukum dianggap tidak adil lalu apa iya kesimpulannya harus revolusi. Luar biasa. Bukankah jalan masih panjang. Bisa banding, bisa kasasi dan sejenisnya. Masih banyak jalan. Tapi mengapa revolusi?

Siapapun boleh berpikir ini kasus serius. Tapi layakkah sebuah kasus di pengadilan yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan  diperlukan revolusi negeri ini? Ini sama saja  orang sakit flu yang perlu dioperasi organ jantungnya. Menjadi semacam malpraktek.

Sulit memahami logika luar biasa ini. Bagaimana kesalahan seseorang atau sebut saja kesalahan tim jaksa atau sebut saja yang lebih besar kesalahan institusi kejaksaan atau sebut saja kesalahan institusi paling besar bernama pemerintah; hanya satu kesalahan: lalu perlu revolusi!

Tiba-tiba revolusi kehilangan muatan magisnya. Kata revolusi akhirnya bukan sebuah perubahan besar dasyat luar biasa. Revolusi di sini kehilangan makna karena dijadikan senjata pamungkas untuk sebuah alasan yang jauh dari memadai. Revolusi sedikit jadi lebih bermakna dari makan malam dengan menu ikan bakar. Alamak.

Makin terasa di sini kasus Ahok sekedar sebuah pemantik. Sayangnya, lagi-lagi dengan alasan atau pijakan pemikiran jauh dari logis.

Terlihat jelas di sini logika bernuansa kejahatan politik, yang lebih berpikir kepentingan diri dibanding memikirkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Mereka hanya berpikir syahwat kekuasaan dan bukan bagaimana menyelamatkan rakyat dari berbagai kepahitan katakanlah jika terjadi revolusi. Seakan revolusi lagi-lagi seperti makan malam; tanpa berpikir bagaimana darah dan air mata membanjiri tanah negeri ini; tanpa memperhitungkan derita panjang, tanpa mengkaji luka yang mengoyak persaudaraan. Benar-benar sebuah logika bersemangat menghancurkan dan bukan memperbaiki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun