Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Secarik Kertas Lusuh

23 April 2017   08:09 Diperbarui: 23 April 2017   17:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Terpojok di balik sebuah tong sampah.  Mendekam sendirian.  Sudah beberapa lama dia berdiam di situ.  Tidak ada yang menghiraukan.  Angin datang mengintip dari celah celah peron. Dalam hatinya timbul iba.  Selayaknya jika kertas lusuh itu dipindahkan.  Barangkali ada anak kecil yang butuh untuk coretan pensilnya.

Lengan lengan angin menariknya melayang ke udara.  Lembut, agar tidak  membuatnya terobek paksa.  Diletakkannya kertas lusuh itu di depan sebuah gudang kumuh.  Banyak lalu lalang orang di situ.  Membawa berkotak kotak kardus yang terlihat berat.  Angin menatap dan berharap.  Ada seseorang mengambil kertas lusuh itu.  Tak ada yang peduli.  Sekotak kardus jatuh tanpa sengaja.  Berhamburan semua isinya.  Tumpukan kertas kertas baru, polos tanpa cela.  Ah, aku salah tempat rupanya.

Diterbangkannya lagi kertas lusuh menuju taman kota.  Banyak orang sedang bercengkerama.  Dengan gadget gadget di tangan mereka.  Mata menunduk pada layar yang menghipnotis mata.  Angin meniupkan nafas tak kentara.  Ini juga bukan tempat yang tepat.  Kertas lusuh itu hanya dianggap sampah yang mendarat.

Tak putus asa.  Angin membawa kertas lusuh itu jauh ke pinggiran kota.  Tempat para pemulung berkumpul.  Biarlah dia menjadi pembungkus kacang saja.  Syukur syukur masih berguna.  Angin itu menghela nafas lega.  sepasang tangan keriput mengambil kertas lusuh itu.  Membolak balik dengan seksama.  Memakukan sepasang mata tuanya dalam keterkejutan.  Bangkit berdiri, membentang kertasnya, lalu membaca tulisannya dengan lantang;

“Aku diciptakan sebagai kekasih pena.  Kekasihku telah lama mati.  Aku sangat berduka untuknya.  Pesan terakhirnya sangat sederhana.  Kau mungkin nanti juga lenyap dan mati.  Tapi semua cinta dan ilmu yang aku tuliskan di tubuhmu, tak akan pernah usang sama sekali....”

Bogor, 23 April 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun