Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Tangisan dan Tarian di KM. 108

6 Juni 2017   22:32 Diperbarui: 6 Juni 2017   22:42 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anggi menjerit tinggi.  Suaranya yang melengking membuat seisi mobil diliputi kengerian.  Dadan yang menyetir mobil bahkan harus meminggirkan mobil ke bahu jalan untuk menenangkan diri.  Ibunya yang duduk di sebelah sopir membuka pintu dan membuka pintu belakang lalu merengkuh Anggi dalam pelukannya.  Anak bungsunya ini memang mempunyai kelebihan bisa melihat hal hal yang tidak bisa dilihat orang biasa.  Karena itu sang ibu cukup mafhum darimana teriakan tadi bersumber.

Malam itu jalan bebas hambatan cukup sepi.  Hanya satu dua kendaraan yang melaju cepat.  Pukul 11 malam dan bukan akhir pekan.  Hanya orang orang yang mempunyai kepentingan mendesak yang mau melakukan perjalanan. 

Dadan, ibu dan adiknya juga tidak menduga harus melakukan perjalanan selarut ini.  Ayah sakit mendadak di tempat kerjanya.  Mau tidak mau mereka memutuskan untuk segera berangkat.  Takut sang ayah ada apa apa.  Apalagi kabar terakhir sang ayah masuk rumah sakit.

Dengan persiapan seadanya mereka berangkat.  Memasuki jalan bebas hambatan dengan lancar.  Paling lambat pukul 1 dinihari sudah sampai di sana.  Begitu perkiraan Dadan yang cukup sering mondar mandir menuju ke sana. 

--------

Anggi mengusap keringat yang mengalir deras di keningnya.  Sang ibu membantu dengan mengelapkan tisu.  Sang ibu tahu sebentar lagi Anggi pasti akan bercerita. 

“Ibu, aku tadi melihat beberapa orang melambaikan tangan di pinggir jalan.  Mereka menangis.  Airmatanya berupa butiran butiran darah.  Ngeri ibu!...”

Anggi meneteskan airmata sedih.  Sang ibu memeluk anak gadisnya lebih erat lagi.  Ah Anggi, selalu saja begini jika melakukan perjalanan malam kemana mana.  Kapan ini akan berakhir nak...

Dadan menghela nafas panjang.  Malam sudah semakin larut.  Jika mereka tidak segera melanjutkan perjalanan, bisa bisa mereka akan terjebak hujan lebat.  Mobilnya sedang rusak wipernya.  Sedapat mungkin harus menghindar dari perjalanan berhujan.  Pemuda ini membuang puntung rokoknya dan mendekati ibunya.

“Bu, sebentar lagi hujan deras.  Bahkan mungkin berbadai.  Lihat, mendung hitam pekat di atas itu adalah pertandanya.”

Sang ibu mengangguk mengiyakan.  Dengan lembut digamitnya Dadan agar tidak mengeluh lagi.  Dadan mundur.  Dia tahu ibunya akan berusaha meyakinkan Anggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun