Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koordinat, Tidak Ada Rahasia Lagi, Kecuali Hati

19 Juni 2017   18:53 Diperbarui: 19 Juni 2017   19:13 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di titik tempat kita berada sekarang.  Beberapa pasang mata selalu mengikuti dengan tekun.  Kita bergerak, maka mereka juga bergerak.  Kita bergeser mereka juga ikut bergeser.

Semua gerak gerik kita tidak pernah lepas dari penanda mereka.  Kita menjadi angka angka yang panjang di mata mereka.  Tidak ada artinya bagi kita tapi sangat bermakna bagi mereka.   

Kita ingin mendengarkan radio kesayangan.  Mencari cari frekuensi.  Mereka tak punya telinga tapi tahu persis kita sedang mendengarkan apa. Mereka tahu kesukaan kita adalah Queen, Beatles atau Dangdut Koplo.

Kita ingin menonton acara olahraga favorit.  Menggeser geser chanel.  Mereka tidak ikut menyaksikan tapi tahu benar apa yang sedang kita tonton.  Mereka tahu klub sepakbola kesayangan kita adalah Chelsea, Barcelona atau Universidad de Catolica.

Mereka tahu kalau kita tidak suka berita.  Berita selalu menayangkan hal hal buruk yang semakin memperparah suasana hati kita.  Tapi mereka juga tahu bahwa kita terpaksa mengikuti apa yang terjadi di Aleppo, Mosul dan Palestina.

Satu satunya yang tidak mereka tahu adalah seperti apa keadaan batin kita.  Terhadap cinta.  mereka tidak bisa mengikuti irama hati.  Mereka hanya tahu kita sedang menuju ke sebuah pemakaman.  Mereka tahu persis berapa jumlah makam yang ada di situ.  Mereka juga lebih tahu dari juru kunci makam tentang jumlah tulang belulang yang tertanam di bawah tanah pemakaman.  Mereka bisa menghitung dengan akurat berapa jumlah jasad manusia di situ.

Yang mereka tidak tahu adalah kita sedang meneteskan airmata di depan sebuah makam bertuliskan; Ibu.  Mereka juga tidak tahu bahwa kita sedang menata keping keping hati yang berantakan teringat akan dosa terhadap ibu.  Mereka tidak paham bahwa kita sedang menangiskan sebuah kerinduan terhadap sosok manusia yang dulu melahirkan dan membesarkan kita.  Mereka sama sekali tidak tahu.  Mereka tidak punya rasa itu.

Mereka tahu kita sedang bergerak menyusuri trotoar jalanan.  Mereka tahu persis berapa jumlah lubang di trotoar itu.  Mereka sangat tahu berapa jumlah pohon mati di sisi jalan.  Mereka juga tahu bahwa sebentar lagi kita akan sampai di depan sebuah rumah dengan kubah di atasnya.  Mereka bisa mengukur bulatan kubah itu secara presisi.  

Mereka tahu kita sedang tidak bergerak dari sebuah posisi.  Mereka tahu kita sedang bersedekap, menunduk dan mencium lantai.  Mereka tahu secara tepat berapa jumlah keramik yang melapisi lantai.  Tapi, mereka hanya tidak tahu ketika kita selesai membasuhkan air di beberapa bagian tubuh, kita terpekur, lalu kita mengangkat tangan berdo'a kepada yang membuat hidup.  Mereka tidak tahu apa yang sedang kita lakukan.  Mereka tidak tahu bahwa kita sedang menyerahkan segenap hati kepada pemilik kehidupan.

Mereka juga tahu kita sedang bergerak menuju sebuah rumah.  Dengan alamat yang tepat.  Hanya saja mereka tidak tahu bahwa kita hanya sedang berdiri beberapa depa di depan rumah itu.  mereka tidak tahu bahwa kita sedang menyiapkan sebuah rencana.  Untuk mengetuk pintu itu.  Lalu saat pelukan pelukan berhamburan, mereka tidak tahu bahwa kita sedang menatap mereka yang mengasihi kemudian kita bilang I love you.  Mereka sama sekali tidak punya rasa untuk itu.

Mereka tahu kita tidak bisa sembunyi dari mereka.  Meski kita coba menggali lubang hingga menembus inti bumi.  Atau menyelam hingga dasar palung terdalam.  Atau berlindung di balik kabut tebal pegunungan.  Mereka selalu tahu kita berada di mana.  Mereka akan selalu memata matai kita.  Selamanya.  Tapi tidak hati kita.  Tidak cinta kita.  Mereka tak akan pernah tahu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun