Lebih dalam menyelam di jiwa
Akan ditemui riuh dan hening saling bergandengan
Setiap saat
Seperti bumi dan langit yang tak pernah saling benci
Seperti hujan dan kemarau yang saling memberi jalan
Seperti rindu dan benci yang tak mau saling mengaku
Meski hati terpaku pada satu nama
Dan berkata tentang cinta yang sebenarnya
Bab III
Alas Garahan. Dyah Puspita  menghentikan larinya setelah sekian ratus kejap.  Dia takut tiga tokoh kejam itu mengejar dan menyusulnya.  Tapi dia sudah terlalu lelah.  Selain jauhnya jarak yang telah ditempuh, bungkusan besar di punggungnya membebaninya terlalu berat.  Diturunkannya bungkusan itu kemudian dibukanya.  Alangkah terkejutnya dia ketika melihat anak laki laki Arya Prabu pucat kehijauan wajahnya.  Sekujur tubuhnya sedingin es.  Dengan panik Dyah Puspita memeriksa urat nadi anak itu.  Detak jantungnya amat lemah.  Bibirnya membiru.  Sebuah tanda bekas menghitam kelihatan jelas di pundak.  Baju di bagian pundak tersebut hangus terbakar.  Cepat-cepat Dyah Puspita membaringkan anak laki laki itu ke tanah di bawah sebuah pohon besar dan kemudian duduk bersila memusatkan tenaga dalam serta menyalurkan ke tubuh anak itu melalui tangan yang ditempelkan ke dadanya selama beberapa kejap.  Luka dalam yang diderita oleh anak itu sangat parah.  Bahkan Dyah Puspita bisa menduga bahwa anak itu juga mengalami keracunan hebat.  Tanda hangus di pundaknya adalah bekas serempetan pukulan Wedus Gembel Aswangga. Dyah Puspita tertarik melihat sebuah tanda kecil di pangkal leher.  Ketika dirabanya, Dyah Puspita terjengit kaget.  Tanda itu ternyata jarum kecil yang masuk ke leher.  Bagian tubuh di sekitar jarum itu  sangat panas.  Sangat berlawanan dengan suhu tubuh lainnya yang sangat dingin.  Senjata rahasia Madaharsa dilumuri dan direndam dengan menggunakan racun Kalajengking Hijau Nusakambangan, Ular Kobra Ujungkulon,  Kadal Beracun Laut Jawa, dan Ludah Api Laba Laba Persia.  Luar biasa beracun dan berbahaya.Â
Dyah Puspita teringat pesan terakhir Arya Prabu.  Merasa bersalah atas malapetaka yang menimpa keluarga ini.  Tersentak kaget  mendengar anak itu terbatuk batuk hebat dan muntah darah berwarna kekuningan.  Mata anak itu terbeliak menahan rasa sakit yang teramat sangat.  Dyah Puspita mencoba kembali menempelkan telapak tangannya ke dada anak itu, namun tersentak ke belakang dengan tiba tiba.  Hawa murni yang coba dia salurkan mental kembali dan tidak bisa masuk ke tubuh anak itu.  Kembali anak itu memuntahkan cairan dari mulutnya.  Kali ini cairan itu berwarna kehijauan.  Dyah Puspita semakin panik tidak tahu harus berbuat apa.  Untuk ketiga kalinya, anak itu memuntahkan cairan dari mulutnya.  Cairan berwarna kemerahan.  Tubuhnya sebentar menegang sebentar menggigil.  Dyah Puspita yang kebingungan meraih sebuah buku kecil yang terjatuh ketika dia mencoba membuka baju anak itu yang basah kuyup oleh keringat.  Ajian Geni Sewindu-Warisan Arya Prabu untuk Arya Dahana. Begitu judul yang tertera di buku kecil itu.  Jadi nama anak ini Arya Dahana, pikir Dyah Puspita singkat. Â