Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jalan Sunyi

13 Juni 2017   19:31 Diperbarui: 13 Juni 2017   19:39 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Waktu itu sunyi mengurung diri. Begitu ketat...begitu gelap...hanya setitik sinar yang menyeruak. Sinar yang datang dari pedih anak anak tak beruntung.  Anak anak yang mandipun kekurangan sabun.  Anak anak yang menghitung berapa jumlah butir nasi di piringnya, agar esok tetap ada butir nasi dengan jumlah yang sama.

Lalu ada cakrawala mendekat.  Memperlihatkan wajah bulan yang bercahaya. Menampakkan tirus kejora yang redup membara. Menjanjikan matahari sesejuk puncak gunung saat malam tiba.

Purnama kemudian berlari melewati masa. Hening dan sepi hanya sekedar menjadi penumpang. Tawa anak anak itu adalah tawa yang dikumpulkan dari surga. Sedih anak anak itu adalah airmata yang sebenarnya airmata.

Hunjaman halilintar tiba tiba membangunkan. Setengah perjalanan itu ternyata mata palsu dari fatamorgana. Jalan sunyi tidak hanya tak terlewati. Namun kembali menghadang seperti perompak di tengah lautan.

Aku terluka parah.

Tapi aku tidak patah.

Aku adalah pejalan kaki yang selalu memilih jalan sunyi.

Dan itu akan kulakukan lagi.

Walau badai dan petir mengancamku untuk berhenti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun