Sementara aku masih berkisah tentang hujan, musim dan cuaca telah membuat buku-buku filsafat setebal lapisan awan.
Di antara hari yang terus meruam, menit dan detik tak henti-henti mengejan. Dalam ruang waktu yang mendadak sesempit lubang kuburan, doa-doa lantas menguar mencari Tuhan.
Para pejalan memilih pulang, para nelayan bermimpi menunggangi gelombang, para petani mengkhayalkan pematang, para guru mengurai rumus-rumus di papan yang kesepian, dan para politisi sibuk berpikir jalang.
Kita memang ditakdirkan mengantri mati. Tapi bukan berarti mesti harakiri. Pada buku filsafat hujan, disebutkan tentang kehangatan yang tidak mungkin bisa didinginkan, jika masih ada orang saling berpegangan tangan.
Oleh siapapun juga, tidak peduli miskin atau berharta. Menuju kemana saja, entah itu melintasi rawa atau menuruni tangga menara. Kapanpun adanya, baik itu di pagi yang semenjana atau malam yang paripurna.
Bogor, 23 Maret 2020