Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Buku Filsafat Hujan

23 Maret 2020   11:17 Diperbarui: 23 Maret 2020   11:26 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Sementara aku masih berkisah tentang hujan, musim dan cuaca telah membuat buku-buku filsafat setebal lapisan awan.

Di antara hari yang terus meruam, menit dan detik tak henti-henti mengejan. Dalam ruang waktu yang mendadak sesempit lubang kuburan, doa-doa lantas menguar mencari Tuhan.

Para pejalan memilih pulang, para nelayan bermimpi menunggangi gelombang, para petani mengkhayalkan pematang, para guru mengurai rumus-rumus di papan yang kesepian, dan para politisi sibuk berpikir jalang.

Kita memang ditakdirkan mengantri mati. Tapi bukan berarti mesti harakiri. Pada buku filsafat hujan, disebutkan tentang kehangatan yang tidak mungkin bisa didinginkan, jika masih ada orang saling berpegangan tangan.

Oleh siapapun juga, tidak peduli miskin atau berharta. Menuju kemana saja, entah itu melintasi rawa atau menuruni tangga menara. Kapanpun adanya, baik itu di pagi yang semenjana atau malam yang paripurna.

Bogor, 23 Maret 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun