Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Formula Sandyakala

21 Februari 2020   19:06 Diperbarui: 21 Februari 2020   19:02 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Saat terpenting hari ini, adalah ketika bumi mulai kejatuhan, remah-remah matahari. Pada rona pipi sandyakala, yang mulai diformulasi, oleh letih, sunyi, dan hanya separuh tatap mata.

Letih itu dibawa oleh badan-badan ringkih. Dari semenjak menginjak tangga kereta. Hingga menyudahi tetes keringat terakhir di angkutan kota.

Sunyi yang ada. Adalah kerumunan kata-kata yang kehilangan tanda baca, vokal tanpa bunyi, juga konsonan tanpa suara. Dirangkai menjadi halaman demi halaman buku, berkisah tentang cemara dan kamboja. Namun selalu lupa menyebut tanah-tanah yang menjadi ibundanya.

Separuh tatap mata terbuka. Tidak mau melihat apa-apa. Separuhnya lagi terpejam. Menyaksikan semburat malam, dalam siluet lamunan.

Formula sandyakala yang sesungguhnya sebetulnya sederhana. Yaitu dengan membiarkan siapa saja saling bersirobok mata daripada saling berpaling muka, mempersilahkan apa saja tumbuh di tempat yang selayaknya daripada kelak mencari-cari di ensiklopedia, dan menandai almanak kapan saja ia akan memulakan purnama dibanding harus tawar menawar kebaikan menggunakan sempoa.

Itu saja.

Bogor, 21 Februari 2020   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun