Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Detik demi Detik Purnama

14 Oktober 2019   21:30 Diperbarui: 14 Oktober 2019   21:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Detik-detik ketika purnama menyinggahi sebuah kota, adalah serpihan waktu paling berharga bagi menara-menara kaca untuk membasuh raut mukanya yang berjelaga, potongan waktu paling sempurna bagi orang-orang yang begitu kelelahan hingga terpapar cedera, dan kepingan waktu paling paripurna bagi para kekasih untuk melupakan patah hatinya.

Di sana, rembulan menyergap trotoar dan selokan secepat terkaman serigala alfa. Di belantara yang diciptakan dari tumpukan batu bata. Lolongan yang terdengar, hanya bisikan lirih dari laring-laring bertagar. Dan cuma bisa didengar, oleh deretan telinga pengar.

Detik-detik ketika purnama menenggelamkan dirinya di kerumunan yang kehilangan saat berbicara, adalah remah-remah waktu yang terbujur kaku di kamar yang kehabisan lampu baca. Sementara lembaran-lembaran buku terbuka begitu saja. Kehabisan pembaca yang menggadaikan diri sepenuhnya pada kemewahan linimasa.

Rembulan lalu menjatuhkan diri. Bersama sunyi. Di keheningan pagi yang juga kehabisan matahari.

Jakarta, 14 Oktober 2019

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun