Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Riuhnya Kota dan Ekstasi Sunyi

3 Juli 2019   02:15 Diperbarui: 3 Juli 2019   02:18 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sunyi merambati dinding malam
di sebuah kota yang mulutnya dibebat gumam
lirih, nyaris tak terdengar
karena hanya menyerupai bisikan angin di telinga yang pengar

Para pengembara tenggelam di pembaringannya masing-masing
memindahkan bising
ke dalam ribuan narasi mimpi
sebagian besarnya tetap saja berupa ilustrasi sepi

Jalan arteri nyaris tak pernah tertidur
banyak orang yang melewatkan kemewahan dengkur
untuk mengais serpihan awan yang berguguran
dijatuhkan sengaja oleh langit demi sebuah keadilan

Stasiun kereta api sedikit berbenah
saatnya pagi tiba, tempat ini akan diluberi banyak amanah
dari kaki-kaki yang menaiki tangga kereta
dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka

Terminal bus meredam penat sejenak
sebelum kembali riuh kedatangan kehendak
begitu fajar datang menyeruak
saat berkas cahaya matahari mulai beranak-pinak

Sunyi memindahkan dirinya ke pinggiran
tempat orang-orang marginal meringkuk kedinginan
menunggu udara lembab dihanyutkan kehangatan
dari pancaran mata yang kembali meletakkan harapan demi harapan

Di kota yang mulutnya tak lagi dibebat gumam
namun digaduhi dengan berbagai macam teriakan
"jika kau datang hanya untuk berkabung pada kubangan keluhan"
"pilihanmu hanya pulang atau menghuni pemakaman"

Jakarta, 3 Juli 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun