Di rongga dadaku sekarang hanya tersisa degup jantung, memompa darah ke wajahku yang murung. Aku tidur lebih dini daripada pagi, sehingga mesin cetak dalam otakku meronta-ronta disergap sunyi.
Di sekelilingku lebih hening dibanding kuburan orang-orang mati. Suara-suara yang ada hanyalah hati yang berdesir tak kentara. Bahkan angin yang biasanya bercinta dengan daun-daun, hanya terdiam melamun. Membuatku ingin sekali berkata kasar terhadap rindu; persetan denganmu!
Tapi tentu itu hanya imajinasi. Kalaupun mau memaki, aku akan menggunakan gaya bahasa paling moderat dari seruan seorang pujangga yang rindunya berkarat; keparat! Kau adalah duri-duri laknat!
----
Di rongga dadaku sekarang yang tersisa hanya potongan rembulan terobek-robek. Pekat di kertas penanggalan yang sebentar lagi akan disobek-sobek. Menuju pergantian bulan berikutnya. Di mana langit kembali muda namun dengan usia makin renta.
Di kejauhan, rindu berlarian. Mendaki tipisnya udara di hati yang menggelembungkan busa. Megap-megap tenggelam kehabisan rencana.
Bogor, 22 Mei 2019