Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kota yang Hanya Berkuasa atas Pekuburannya

15 Mei 2019   10:28 Diperbarui: 15 Mei 2019   10:44 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara terbata-bata tentang kota yang memberiku lindu di sekujur tubuhku yang linu, adalah pembicaraan yang tak pernah selesai bahkan meski batas waktunya telah usai. Kota yang selalu berdiri mengangkang di atas luasnya pemakaman, selama enam bulan dalam setahun mengencingi tulang belulang di dalamnya dengan hujan asam.

Berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan kota yang menyaru sebagai tuan termanis dari tubuhku yang amis, adalah cara berdiriku yang paling sopan meski tak tahan dengan segala macam perlakuan. Aku tidak sedang menghormatinya. Aku justru sedang berniat membuka resleting celana. Mengencingi gang-gang kumuhnya dengan urin paling berbahaya berupa cipratan liur saat bersumpah serapah paling durjana.

Bersimpuh terbatuk-batuk di muka murung kota yang matanya menggelap karena kabut perih dari asap yang tak pernah hilang dari pantatnya, membuat rongga dadaku seakan hendak meledak berkeping-keping. Kota adalah lingkaran pening yang paling brutal dalam mengusir hening. Semua kegaduhan tak berirama disuarakan melalui derum mesin dan tangisan kering. Semua itu perangkatnya dalam menjalankan kekuasaan agar tetap ditahbiskan sebagai majikan dari para ronin. Samurai tak bermajikan yang sibuk mencari makan dengan menebas leher-leher peradaban.

Berdoa sebisa-bisanya di telapak kaki kota yang bernanah, kudisan dan dipenuhi kutu busuk. Doa-doaku adalah doa paling jahanam yang sangat teruk. Kota yang telah kehilangan hatinya, selayaknya dibedah kepalanya. Aku takut kota juga ternyata telah kehilangan otaknya. Melahirkan anak-anaknya tapi membiarkan mereka besar dengan sendirinya. Menjadi domba-domba yang di rahang mereka tumbuh taring-taring serigala.

Ritual tahunan tak lama lagi akan berpesta. Ribuan orang-orang tak berdosa kembali akan mendatangi kota. Menyerahkan hati dan tubuhnya secara gratisan. Hanya untuk menjadi orang-orang gagal yang pemakamannya telah lama disiapkan.

Jakarta, 15 Mei 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun