Selalu begitu, di saat hujan menyinggahkan peringatan, pada setiap malam yang memanggungkan kesakralan, lelaki itu berulang-ulang memakamkan kesepian. Di sebuah pekuburan tanpa papan nama. Dalam hatinya yang tersandera lingkaran masa.
Lelaki itu berusaha keras menyembunyikan rembulan di sepasang mata yang darinya tersembur percikan api berbahaya. Siap membakar hingga hangus. Apa saja yang menurut keputusannya adalah silabus rindu tak terurus.
Pada suatu saat ketika sunyi benar-benar berkulminasi, merajam kepatuhannya agar terus berdiam diri. Lelaki itu tak kuasa menahan deburan ombak di dadanya yang retak. Tertusuk ujung tombak dari sisa-sisa peperangannya melawan kehendak.
Ini tak bisa dibiarkan! Lama-lama dia hanyalah patung dalam kerumunan. Terpaku diam. Memaku diri di dinding-dinding jahanam.
Seperti laron-laron yang berkamikaze. Mengejar cahaya lampu membakar yang dikiranya adalah oase. Lelaki itu menyudutkan diri di para-para langit yang sedang pasang. Terbawa aliran tenang gelombang yang dinamakan waktu senggang.
Hanya untuk membiarkan dirinya dalam ruang yang lengang. Terbuang dan terhumbalang.
Bogor, 12 Mei 2019