Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Altar Kota yang Dingin dan Tua

9 Mei 2019   23:12 Diperbarui: 9 Mei 2019   23:32 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara malam berputar-putar selayaknya burung nazar. Mengintai altar kota yang dingin dan tua. Tempat keinginan dijagal sebelum sampai pada ujung usianya.

Menuliskan berlembar-lembar kisah di kota yang tak mengenal dirinya sendiri semenjak dilahirkan hingga menjelang mati, menghabiskan begitu banyak praduga kenapa kota sama sekali tak mau berusaha berkaca. Entah karena keriput di matanya yang berjelaga, atau kerut-merut di sudut mulutnya yang membentuk pusara.

Kota-kota besar adalah tempat pelarian harapan-harapan yang kesasar. Diberangkatkan dari rumah di pagi yang masih membuta, dipulangkan kembali sorenya sudah dalam keranda. Dikuburkan pada malam ketika mimpi lantas menghidupkannya. Lalu saat terjaga keesokannya harinya, kembali mekar seperti mawar lengkap dengan duri-durinya.

Kampung-kampung kecil menyimpan masa silam berpeti-peti. Termasuk ketika serombongan burung pipit menyatroni bulir-bulir padi, ditingkahi teriakan-teriakan melengking tinggi dari kaleng-kaleng bekas yang dirantai dengan tali. Resah namun tak terlupakan. Karena memang itu bagian dari kenangan indah yang dibiarkan menghuni pikiran. Untuk menghibur diri saat kota hanya menyediakan pilihan-pilihan untuk bunuh diri.

Sungai-sungai yang mengalir rapi, membelah petak-petak sawah yang pematangnya belum diperbaiki. Diselingi suara seruling entah dari bagian mana. Karena kerbau dan anak gembala tersebar seperti noktah-noktah bintang di langit malam yang terang benderang tanpa mega-mega.

Film hitam putih itu berhenti diputar di benak orang-orang yang menyudahi penyesalannya dengan bersendawa setelah segelas kopi sachetan habis tenggelam di kerongkongannya. Udara malam kembali berputar-putar di gang-gang sempit yang menawarkan hiburan tak segar. Suara hingar bingar dari dengkur yang gahar, hingga alunan lembut musik dangdut di altar kota yang dingin dan tua. Tempat keinginan dibekukan bahkan sebelum sempat melahirkan rencana demi rencana.

Jakarta, 9 Mei 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun