Ini tentang desa yang melamunkan kesepiannya sebagai janda. Pelaminannya retak diinjak-injak zaman yang secara cuma-cuma menyediakan keranda. Alat transportasi bagi suami dan anak-anaknya untuk pergi ke kota.
Bagi desa yang berkulit gelap setelah selalu berjemur matahari di pematang sawah yang habis dicangkuli, paham mengapa tubuh mulus kota lebih mengundang gairah kelelakian para suami. Sedangkan Ia, lebih sering memacari sapi-sapi dan mencuci tubuhnya di kali.
Eksotisme desa sebenarnya tidak habis ditelan masa. Hanya seperti raksasa menelan purnama. Menjadi gerhana. Tak butuh waktu lama bagi desa untuk berdandan ulang. Orang-orang sekarang lebih menyukai pulang. Pergi bagi mereka hanyalah semacam keberangkatan yang tidak menetap. Eksotisme desa jauh lebih mengundang harap.
Sesungguhnya, apabila hari-hari di kota seringkali mempusarakan rasa sunyi. Tepat di ulu hati. Hari-hari di desa justru mengundang letupan birahi. Terhadap pagi yang secantik peri.
Jika skeptisme kota menyediakan begitu banyak perihal konyol. Kemudian mengajak orang berlagak tolol. Eksotisme desa justru menawarkan ranjang pengantin. Di musim hujan yang dingin.
Jakarta, 21 Desember 2018