Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Pusat Mata Badai

14 September 2018   07:02 Diperbarui: 14 September 2018   08:42 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini pagi yang berbeda. Setelah semalam kita mencoba menguliti rembulan, menjemurnya di kegelapan, dan menapih serpihannya di ranjang. Sebagai ganti helai-helai melati yang biasanya kita hambur di pembaringan. Supaya mimpi yang datang bukan lagi tentang langit yang kehilangan hujan.

Tapi langit yang meriah oleh gairah yang tertumpah atas segala kegundahan para pencari cinta.

Aku dan kau baru menyadari ternyata rembulan itu semacam bayangan. Memantul dari jiwa-jiwa kita yang percaya terhadap hitam dan putih.  Sebagai warna abadi kematian dan harapan.  Kepastian dan kesungguhan.

Ini juga pagi yang sama.  Sewaktu dulu kita merangkai embun menjadi tirai penutup jendela.  Berjaga-jaga jika kita ingin mendingin.  Terhadap segala ingin yang memaksa kita berkejaran dengan angin. 

Aku dan kau pada saatnya nanti akan berjumpa di muara tempat angin mulai landai.  Di pusat mata badai.  Saat kita sudah sampai pada titik di mana tak lagi berandai.

Air Molek, 14 September 2018

  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun