Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serenade Perempuan dan Hujan

4 Mei 2018   17:03 Diperbarui: 4 Mei 2018   17:17 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Begitu mudahnya kau meledakkan kemarahan.  Hanya karena pelangi menjauh dari tempatmu berdiri.  Kau tak bisa melihat tujuh lapis warna.  Dan yang nampak hanya garis langit berjelaga.  Kau sebut itu semua simbol tak bermakna.

Setangkai bunga runtuh di hadapanmu.  Sudah waktunya tentu saja.  Ini senja.  Mekar itu milik pagi.  Layu itu selalu di sore hari.  Tapi kau meraung tak terima.  Kau pikir wangi sedang melarikan diri.

Tubuh hujan dan anak-anak gerimis menerpa atap rumahmu.  Kau sebut itu terlalu mengharu biru.  Kau lemparkan penggalan kalimat;

Kalian tak berkhidmat.  Semestinya hujan adalah musik di telinga.  Bukan jeritan monoton antara air dan atap!

Kau lupa. Hujan adalah nada-nada tak tercela.  Perhatikan susunannya ketika menderas;  laksana parade drumband berkelas.  Dengarkan saat tersisa gerimis; itu adalah panggung baca prosa liris beritme magis.

Amarahmu lalu turun seperti seorang ibu sedang menimang bayi.  Begitu kau menyadari sepenuhnya bahwa garis nasib itu milik sendiri.  Bukan dikemudikan oleh keriuhan ujung lidah orang-orang yang sibuk membanting ikatan jerami.  Di tengah-tengah sawah yang tak lagi berpadi.

Jakarta, 4 Mei 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun